Dari BARCELONA untuk SOLO

Hari hari akhir pekan kita, khsusnya pencita bola dan arena balapan, tidak terlepas dari kata-kata berikut ini, Leonel Messi, Catalunya, Moto GP dan Formula 1. Harian Solo Pos, 1 Maret 2018 saja menurunkan setengah halaman olaraga tentang Catalunya, mulai dari Sepakbola hingga si roda bundar.

Harus diakui bahwa Catalunya adalah sepengal tanah di daratan Spanyol yang memiliki kekayaan alam dan sumber daya manusia. Barcelona yang berhadapan langsung dengan laut mediterania menjadi daya tarik bagi negara-negara Eropa Utara yang pantainya cenderung dingin.  Pencinta matahari dan pasir putih, Barcelona adalah bagian tak terpisahkan dari Eropa. Nuansa alam pantai ini menyatu satu dengan keindahan permainan tiki taka a la La Mesia, sekolah bola FC Barcelona, tempat Messi dan kawan-kawan digembleng menjadi jawara sepakbola kelas jagat. Tak satupun pelatih bola atau sekolah bola di buka bumi ini yang tidak menyebutkan la Masia dari mulutnya dan memimpikan sebuah tempat pembinaan layaknya la Mesia. Menterjemakan MARCA beberapa tahun yang lalu memerikan kemewahan kepada saya untuk membaca berita-berita indah tentang la Mesia, sebuah sekolah penggemblengan gladiator bola.  Saya sengaja menyebutkan gladiator agar kita mengingat bagaimana bangsa Romawi kuno membangun pasukan yang sangat terkenal itu.

Lagi-lagi untuk pencinta bola, Camp Nou tentu sebuah kemewahan luar biasa untuk dikunjungi. Stadion Baru, kalau hendak di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah magnet yang sama kuatnya dengan pantai pasir putih pesisir Mediteranian. Camp Nou adalah panggung kebanggan bagi setiap tetes darah pemuda dan pemudi Catalan. Camp Nou memiliki catatan sejarah berdarah ketika perang sipil melanda Spanyol ada tahun tiga puluhan. Saya kira, tidak perlu saya paparkan lebih jauh tentang sejarah itu  agar tidak terbias salah arah tulisan singkat ini.

Pendek cerita Barcelona yang kerap kita dengar adalah pantai dan bola. Dua hal yang sama kuatnya untuk menarik gelombang turis sepanjang tahun tanpa henti. Selama tiki-taka masih menjadi idiologi permainan Barcelona, maka mata dunia akan tertuju pada Camp Nou. Dan baju azulgrana, merah biru akan tetap menghiasi visualisasi kita baik di layar kaca maupun di koran-koran.

Tetapi saya tidak ingin menghibur pembaca dengan cerita indah pantai dan Camp Nou. Saya ingin mengajak kita semua melirik pada satu titik yang kini telah berubah menjadi barometer seni dan arsitek di Catalunya, Sangrada la Familia. Sebuah katedral menjulang tinggi di langit biru Catalunya. Dengan ketinggian lebih dari 100 meter, Sagrada Familia adalah karya anak manusia tertinggi di kota Barcelona dan sepertinya akan menjadi kesepatan non tertulis agar tidak ada bagunan lebih tinggi daripadanya di tepi laut Mediteranean itu. Asiknya lagi hingga kini bangunan monumental ini belum juga rampung. Diperkirakan gereja ini akan selesai pada tahun 2026, persis 100 tahun meninggalnya sang arsitek Antoni Gaudi. Menurut cerita, si genius Gaudi meninggal karena tertabrak trem kota pada pagi hari saat melintasi jalan. Katanya, sembari berjalan pada pagi itu ia merenungkan, membayangkan, memvisualisasikan maha karyanya sehingga tidak sadar maut membawanya lebih dahulu kepada Sang Inspirasi Ilahi. Pada usia 31 tahun Gaudi mengambil alih proyek pembagunan gereja tersebut dan mengubahnya menjadi maha karya terbesar abad ini. ‘Akan datang banyak orang dari seluruh penjuru dunia untuk melihat apa yang kita kerjakan.’ katanya ketika memimpin pembangunan la sagrada familia, keluarga kudus.

Sekedar intermezzo Antoni Gaudi, ketika lulus sekolah arsitek, para pengajarnya memberikan komentar, kita tidak tahu apakah orang yang kita luluskan ini, orang gila atau orang jenius, biarlah waktu yang akan menentukannya. Waktu ternyata tidak bohong, Gaudi tampil sebagai arsitek yang out of the box, karya-karyanya seperti Parque Guel, Casa Mila, menjadi maspterpiece. Ciri utama dari Gaudi adalah tak adanya sudut, karyanya mengalir bagai air, berhembus bagai angin, bersinergis layaknya pohon dan tanah. Gaudi bercermin pada alam. Ia berguru pada alam, karena pada alam ia menemukan kemahaagungan Tuhan. Gaudi adalah sosok yang sangat religius. Ketika ia beri tugas untuk membangun katederal Sangra de Familia, ia mencurahkan seluruh dirinya, fisik dan jiwanya untuk mewujudnyatakan alam (baca karya Tuhan) dalam arsitektur.

Sebuah karya besar lahir dari ide besar, pesan ini pasti akan terpatri pada setiap orang yang ingin membangun tembok kecil yang bertahan dalam terpaan waktu. Ide besar memiliki daya resonansi melewati batas waktu dan geografis. La Sangrada de Familia, tidak lagi hanya menjadi milik Barcelona atau Catalunya. Tetapi ia telah menjadi milik zamannya, miliki kita, miliki generasi ini dan generasi selanjutnya. Milik orang yang mencintai dan mencari inspirasi pada alam, karya ciptaan Tuhan. La Sangra Familia adalah Borobudur kecil. Kuil yang menghidupi zamannya. Kuil yang kini menjadi miliki umat manusia, sekalipun pada proses lahirnya adalah milik sekelompok golongan.

Tulisan singkat ini saya tutup sembari mengucapkan salam agar tetap semangat bagi mereka yang sedang berada dibalik spirit mendirikan sebuah mesjid di Sriwedari, berkacalah pada la Sangrada Familia, si Borobudur mungil.  Selamat bercermin!

Advent Tambun

11.03.2018

tulisan ini sudah terbit di SOLO POST paper

 

 

 

Check Also

La escultura megalítica Lore Lindu, prueba de una gran civilización en Sulawesi Central

Esculturas o estatuas de diversas formas parecen estar esperando la presencia humana para llegar al …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *