Agama terdiri dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau. Dengan demikian, agama adalah sejenis peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan, serta mengantarkan menusia menuju keteraturan dan ketertiban.
Sikap utama dan pertama agama (terlepas apapun agama yang dimaksud) adalah anti perang. Alasan keberadan agama adalah obat penawar bagi racun pertengkaran, perkelahian, pertentangan, perselisihan dan segala seuatu yang menyebabkan manusia menjauhi manusia lainnya. Perang adalah pengejewantahan semua sikap dan sifat destruktif manusia. Agama adalah bisa penawar atas karakter buruk manusia.
Jika agama telah kehilangan kemampuannya menjadi netralisator dari konflik, maka agama itu ibarat garam yang telah kehilangan rasa asinnya. Pada titik ini, agama kehilangan jati dirinya.
Tetapi kritikan pada agama, berhenti pada pintu diskusi ketika pembelaan yang sampaikan para agamais adalah: agama itu sempurna, yang tidak sempurna adalah pemeluknya.
Sikap protektif ini pada satu sisi benar adanya, tetapi pada sisi lain tetap layak dipertanyakan. Petinggi agama adalah representative otoritatif dari struktur keagamaan. Ketika kita bertanya sikap atau pandangan dari agama terentu, tentu kita merujuk pada tokoh-tokoh agama terebut, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Kesetiaan dan ketaatan umat agama tersebut akan mengikuti pemimpinnya. Perlu disebutkan disini bahwa agama sebagai kumpulan orang beriman memiliki struktur piramida, di mana pemimpin berada di pucuk piramid dan menentukan arah gerak dari agama tersebut sesuai dengan konteks aktualnya.
Bila kita mengikuti pola pikir premis-premis di atas, maka agama yang apatis dengan kejadian perang aktual di mana dan kapanpun adalah bukti patahnya logika refleksi imani dari pemimpinya. Agama itu tetap asin, tetapi petani garamnya tidak mampu lagi membedakan mana air laut dan mana air hujan. Hambarnya agama, terletak pada kesombongan dangkal para pemimpinnya.
oleh
Minggu 24 Juli 2022
katak tak berekor