JOKOWI RAJA BATAK! (diterbitkan di Solo Post)

TELAH TERBIT DI SOLO POST

Saya bukan ahli budaya Batak, juga dengan jujur saya harus mengatakan bahwa pengetahuan budaya Batak saya masih seujung kuku jari kelinging.

Saya sadar tulisan saya ini akan dibaca banyak orang dan juga dibaca oleh saudara-saudara saya dari suku Batak, baik itu sub suku Karo, Toba, Simalungun, Pak-Pak maupun Mandailing.

Ada satu hal penting yang inign saya sampaikan sebelum memaparkan lebih jauh tulisan ini bahwa kata Batak, secara etimologi bisa ditarik sebagai orang, kelompok orang yang percaya pada DIBATA. Kata ini sengaja saya tulis dalam cetakan huruf besar akan mejadi titik pijak dari setiap pembicaran tentang Batak, baik dalam tataran kultural, antropologis, historis, filosofis maupun problematika sosial ekonomi aktual.

Jika hendak dicari perbandingannya, maka penyematan kata Batak itu sejajar dengan Kristen yang artinya mereka yang percaya pada Kristus, atau Yahudi mereka yang perycaya pada Yahwe.

Dalam kehidupan sehari-hari pemakaian kata DIBATA, DEBATA (baca Dewata, Tuhan, Allah, Yang
Ilahi, Sang Yang Widhi) menjadi kata yang kerap terucap oleh orang Batak yang menunjukkan bahwa
konsep ketuhanan hadir secara real dalam keseharian masyarakat Batak.

Secara tidak langsung saya hendak mengatakan bahwa pemahaman akan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa sudah dihidupi oleh masyarakat Batak jauh sebelum agama-agama monoteisme memasuki bumi nusantara.

Pada point ini, tentu kita sepakat bahwa konsep ketuhanan adalah konsep tertinggi dalam pemahaman dan penghayatan sebuah kebudayaan dari sebuah masyarakat.

Peninggalan-peninggalan bersejarah dunia tidak terlepas dari hubungan dan pemahaman manusia akan tuhannya, sebut saja Borubudur atau Candi Prambanan.

Penghayatan akan kehadiran Tuhan dapat dirasakan dalam kata dan laku masyarakat Batak sejak dari zaman pemahaman antropologis.

Dalam budaya Batak terdapat istilah yang diamini, yakni DEBATA NA TARIDA, DIBATA SI TERIDAH, Tuhan yang kelihatan, Tuhan yang tersentuh, the visible God. Konsep ini menjadikan pemahaman tentang ikarnasi tuhan dalam bentuk tubuh manusia. Sebuah pemahaman teologis yang sulit dijelaskan dan dipahami bila tidak menerima kebenaran premis awal bahwa Tuhan itu ada dan aktif partisipatif.

Siapakah DEBATA NA TARIDA, apakah ini hanya sebutan saja, istilah semata atau pribahasa tanpa makna? Dalam kaitan inilah judul di atas memiliki makna bagi bapak President Jokowi. Seorang Batak, pada dirinya tersembat tiga peran, tiga persona, tiga citra sekaligus, saya akan jelaskan dalam bahasa Indonesia saja supaya tidak ribet yakni RAJA, SAUDARA, PELAYAN. Tiga citra, person ini dapat berganti bertukar tergantung pada situasi aktual hidupnya.

Jokowi dan Batak

Siapakah Jokowi, seorang Jawa, terlepas apapun jabatannya ketika diberikan gelar Siregar? Dia adalah DEBATA NA TARIDA bagi keluarga Bobby Nasution. Jokowi adalah raja yang terlihat, tersentuh bagi keluarga Bobby Nasution, atau lebih tepatnya bagi Bobby.

Dalam adat Batak, seorang pemuda yang menikahi gadis Batak, dengan sendirinya mengambil peran sebagai pelayan dalam semua kegiatan keluarga mertuanya (baca hula-hula atau raja). Sekedar contoh, saya sebagai pemuda batak, akan mendahulukan semua kegiatan keluarga istri saya daripada keluarga ayah saya. Mari kita ambil contoh, jika ayah saya sedang panen, dan ayah mertua saya juga panen pada saat bersamaan di sawah, dan mereka berdua membutuhkan tenaga kerja, maka saya akan memilih menyelesaikan dulu sawah dari mertua saya daripada sawah ayah saya. Pemahaman ini harus dihayati oleh seorang suami Batak. Saya tidak akan berani membantah pernyataan ayah mertua saya, karena beliau adalah representasi Tuhan yang tersentuh. Kata-katanya layaknya sabda seorang raja kepada rakyatnya.

Semua sistem kebudayaan, selalu ada keseimbangan logis untuk mempertahankan roh budaya itu sendiri. Seorang Raja (baca bapak Mertua) harus mampu memperlihatakan kebjikasanaan tingkat dewa dalam setiap permasalahan hidup. Seorang Raja harus mampu memahami adat-istiadat keseharian sehingga layak disebut raja.

Seorang raja harus mampu mengayomi para pelayannya. Istilah elek marboru, mampu mengambil hati pelayannya (baca anak mantu) adalah seni hidup keseimbangan masyarakat Batak. Pemberikan gelar Tuhan yang terlihat, bukan sebuah kebanggan carnal duniawi, tetapi tuntutan hidup utopis surgawi. Semoga Jokowi Siregar, yang adalah presiden (maaf, bukan raja) dapat menerapkan pemahamam Tuhan yang bisa disentuh itu dalam pemerintahan nusantara yang belakangan ini digoyang issue penggeroposan Pancasila.

 

Advent Tarigan Tambun
Inisiator SINABUNG KARO JAZZ 2017

Check Also

VIDEO BELAJAR BAHASA SPANYOL DASAR

PERTEMUAN 1 . . PERTEMUAN 2 . . PERTEMUAN 3 . . PERTEMUAN 4 . …

Un comentario

  1. Menarik dan aktual, tapi agak pusing karena banyak istilah daerahnya.

Deja un comentario

Tu dirección de correo electrónico no será publicada. Los campos obligatorios están marcados con *