Persis ketika namaku di panggil oleh panitia pertandingan, suasana hening menyelimuti ruang ganti timnas tinju Indonesia. Kami semua berpegangan tangan sambil memanjatkan doa dalam hati masing-masing.
“Doa selesai!” Dani Mitro, asisten pelatih kepala memecah keheningan itu.
“Hidup Manuel…Hidup Indonesia.” Serentak semua tim tinju Indonesia yang turut serta dalam pertandingan Kejuaran Interkontinental Manila, Filipina memberikan semangat.
Semua itu menjadi nafas semangat tambahan untuk menghadapi partai terpenting dalam karirku sebagai petinju amatir. Teriakan itu juga sebagai peringatan agar aku bisa fokus 100 persen pada satu-satunya pertandingan final yang masih tersisa bagi tim Indonesia. Dari 8 petinju yang diturunkan oleh Pertina, hanya saya yang masih tersisa, semua gugur pada babak pertama dan putaran kedua kejuaraan yang berlangsung selama lima hari tersebut.
Sejatinya aku hanya butuh satu kali kemenengan saja, untuk memastikan sebuah medali akan kami bawa pulang ke tanah air.
Tadi malam, saat makan malam, ketua Pertina menepuk bahuku dan berbisik lembut seperti seorang ayah kepada anaknya.
“Manuel…kau adalah petinju masa depan Indonesia!” Kalimat itu lembut tetapi memiliki makna yang sangat luar biasa. Pada usiaku yang kedelapanbelas, dipundakku ada misi besar yang sedang aku jinjing yakni membawa medali ke tanah air.
Pada sesi terakhir latihan kemarin sore, asisten pelatih, Dani Mitro sempat berujar agar aku bisa bertahan tiga ronde tanpa kena hitungan wasit.
Dalam hitungan kertas, sangat sulit bagiku untuk bisa meraih kemenangan atas petinju Filipina, lawanku saat ini, karena ia adalah peraih medali perak Olimpiade. Jika aku bisa bertahan tiga ronde tanpa hitungan wasit adalah sebuah kesuksesan tersendiri.
Sementara itu, pelatih kepala Rio Tinto, asal Kuba, tidak memberikan instruksi khusus pada pertandinganku kali ini. Biasanya ia memberikan banyak masukan, taktik dan teknik menghadapi lawan-lawanku. Pada sesi latihan terakhir ia hanya memberikan beberapa instruksi kecil cara menghindar upper cut, dan hook dengan kombinasi kaki yang lincah untuk keluar dari jebakan lawan.
Rio Tinto adalah pelatih kenamaan asal Kuba, dia selalu melakukan double análisis terhadap lawan pada pertandingan-pertandinga penting. Tapi kali ini, dia tidak melakukan itu. Semu aitu karena lawanku adalah jebolan peraih medali Olimpiade. Trade record itu adalah jaminan kualitas musuhku kali ini.
Persis sebelum memasuki ring tinju, kusempatkan berdoa sejenak sembari memegang tali ring yang sudah diangkat oleh Rio Tinto.
“Tuhan tolong aku!” Setelah mengucapkan kalimat itu, aku masuk ring tinju, di sudut biru.
Pemanasan ringan aku lakukan sembari melemparkan tatapan ke Ferdinan Lopez, petinju Filipina yang sama sekali tidak melakukan pemanasan, tetapi matanya tajam terarah padaku, hana sesekali ia melakukan jab-jab satu dua.
Sekali lagi, pengeras suara panitia mengumumkan nama kami berdua.
“Manuel Taroreh from Indonesia in the blue corner and Ferdinan Lopez from Philippines in the red corner.”
Arena Boxing Manila tiba-tiba bergemuruh riuh. Publik tuan rumah langsung meneriakkan nama Lopez ke angkasa raya menenggelamkan suara satu timku yang mencoba mencari celah kecil agar nama Indonesia muncul dalam gelombang dukungan tuan rumah kepada petinjunya.
Wasit memanggil kami berdua ke tengah ring lalu memberikan instruksi dasar dalam pertandingan tinju. Dan bunyi bel ring bergetar nyaring.
Ronde pertama.
Ferdinan Lopez, langsung melemparkan jab kanan kiri. Dengan gesit aku menghindar. Gerakan kakiku, seperti instruksi Rio Tinto mampu mengecoh Lopez. Aku menghindar dari kanan ke kiri dan sebealiknya. Instruksi double cover dari Dani Mitro aku terapkan dengan sempurna. Ferdinan Lopez sempat mengurungku di sudut ring merah dan bernafsu untuk mengakhiri secepatnya pertandingan. Kombinasi jab, hook dan upper cut yang ia lancarkan bisa aku block dengan rapi, hanya sebuah jab tak bertenaga mengenai pelipis kiriku. Lopez semakin bersemangat di bawah teriakan publiknya agar segera menghabisiku di ronde awal. Tapi aku masih bisa berdiri tegak saat kembali ke sudut ring melewatkan ronde pertama dengan strategi bertahan.
Rio Tinto segera menyambutkan di sudut ring dan mengacungkan jempolnya.
“Bueno…bueno,” ujarnya dalam bahasa Spanyol. Disusul dengan memperlihatkan teknik lain untuk menghindar dan bertahan. Dani Mitro membersihkan tubuhku dan memberikan air untuk berkumur membasahi mulutku. Bunyi bel kembali berdering.
Ronde kedua.
Saya belum memasuki tengah ring, Ferdinan Lopez langsung merengsek mengejarku. Ia sepertinya ingin segera menjawab nafsu para pendukungnya untuk memberikan hadiah KO secepatnya. Penggagum Mike Tyson itu, segera menghujaniku dengan kombinasi pukulan tanpa henti.
Double cover dan kelincahan kaki menyelamatkanku kembali dari serangan tersebut. Lopez menemukan momen terbaik ketika aku tidak bisa bergerak lincah di sudut merah. Dari balik double cover aku masih sempat melemparkan pandanganku kepada Rio Tinto dengan wajah tidak tenang, beberapa kali ia mengusap wajahnya dan menggaruk kepalanya, badanya ikut bergerak setiap kali tubuhku mendahan beratnya pukulan Lopez. Sebegai pelatih berpengalaman ia tentu tahu betapa sakitnya dihajar oleh lawan dihadapan publiknya sendiri. Sakit fisik dan mental menyatu satu. Derita fisik bisa ditahan, tetapi patah mental bisa menjadi beban berat dalam karir seorang petinju. Secara fisik kami sudah terbiasa mendapat pukulan, tetapi tidak semua sanggup menerima tamparan keras mental. Satu-satunya yang bisa membuat kami bangkit berdiri saat dipukul KO adalah kekuatan mental. Hal ini pernah dijelakan oleh Rio Tinto saat kami melakukan latihan fisik cerca de la muerte, mendekati kematian.
Masih bertahan di sudut merah, sepuluh detik terakhir donde kedua, sebuah kombinasi pukulan double jab, upper cut dan diakhiri dengan hook kiri yang sangat keras membentur pipi kiriku. Tiba-tiba lututku membentur lantai ring dan aku dengar wasit asal Thailand melakukan hitungan angka. Pada hitungan ketiga, aku tiba-tiba tidak sadar sekalipun masih bertopak pada lutut, tubuhku seperti melayang dan tak mendengar apa pun di Arena Manila yang berteriak riuh menyaksiakn petinju kesayangan mereka mampu membuatku bertekuk lutut.
Aku berada dalam suasana hening tanpa suara apapun di telingaku dan membawaku ke masa kecilku yang sedang berlari menemui mama yang sudah menungguku di depan pintu rumah. Mama memelukku dengan erat tetapi dadanya bergetar menahan tangis. Aku tahu apa yang sedang terjadi setiap kali hal ini terjadi. Suasana rumah tidak baik-baik saja. Biasanya mama baru saja bertengkar dengan papa. Tetapi yang paling saya takutkan bahwa mama belum masak siang untuk kami. Kali ini pelukan itu lebih erat dari biasanya dan air matanya lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Kekawatirkanku pun terjawab. Mama tidak berani berkata bahwa ia belum masak siang karena ia tahu aku berlari dari sekolah dengan rasa lapar. Usiaku baru tujuh tahun tetapi sudah menghadapi getirnya kehidupan. Papaku, seorang supir angkot sering pulang ke rumah tanpa membawa uang yang cukup untuk membeli lauk. Pekerjaan sebagai supir angkot tidak seperti dulu lagi, hari demi hari, penumpang semakin berkurang dan uang belanja rumah tangga juga menyusut surut. Pelukan erat mama itu membuatku kenyang dan menghilangkan rasa lapar seorang bocah tujuh tahun.
Hangatnya pelukan itu terasa hadir di atas ring. Lamunanku buyar ketika ring bel ronde kedua berbunyi. Ketika aku buka mata ternyata Rio Tinto sedang memelukku seperti mamaku kala itu. Kehangatannya tidak jauh berbeda. Pelukan itu membunuh rasa takutku di atas ring. Aku selamat dari TKO.
“Bueno…bueno…bueno.” Rio Tinto yang masih belum paham berbahasa Indonesia mengucapkan tiga kalimat itu sesaat bel ronde ketiga berbunyi. Dan ia memelukku sekali lagi. Rasa takut yang telah hilang pada pelukan pertama berubah menjadi kepercayaan diri seorang anak yang tiba-tiba kehilangan rasa lapar.
Ferdinan Lopez segera menghampiriku karena ia merasa bahwa effek pukulan akhir ronde kedua masih terasa di tubuhku. Jab kanan yang keras, aku hindarkan, hook kiri yang akurat aku block dengan sarung tinju. Dan ketika Lopez mencoba melepaskan upper cut tangan kanannya, sebuah kombinasi yang sudah aku baca dari ronde pertama dan kedua, sebuah jab kiri keras melayang lebih dahulu menyentuh pipi kanan Ferdinan Lopez. Ia kaget dan secara refleks ia segera menarik tangan kananya menutup pipi kananya. Dari posisi menyerang Lopez tidak mempersiapkan pertahanan antisipasi dari sebuah seragan balik yang cepat sehingga pelipis mata kirinya terbuka. Hook keras tangan kananku membentur pelipis itu. Sangat keras, bahkan aku merasa tanganku bergetar. Ferdinan Lopez terjerembab di bawah kakiku. Arena Manila tiba-tiba senyap. Tak ada suara. Rio Tinto buru-buru masuk ring dan memelukku dan aku membalas pelukan itu seperti saat mama menungguku di depan pintu.
”Ma, kita tidak akan pernah lapar lagi!”
Advent Tambun, 14/01/2025