SOBAT TARIGAN TAMBUN (dari buku Licinius Fasol OFM Cap, CINTANYA MELELEHKAN)

Seseorang menelepon dan saya spontan menjawab. Ternyata dia adalah seorang eks Seminari Menengah Pematang Siantar, Ignasius Ivo Tarigan Tambun. “Ini Bang, bapak mau bicara,” kata Ivo.

 

Di sambungan telepon sudah siap seorang bapak bernama Sobat Tarigan Tambun, kelahiran Barus Jahe, tahun 1943 atau berusia 73 tahun. Soal apa lagi jika bukan tentang Pastor Lisi. Itu dugaan saya. Ternyata benar, ayahanda Suster Vianni Tarigan SFD ini pun antusias bercerita.

 

Sobat langsung menyinggung soal Pastor Lisi yang wafat tahun 1984 lalu. Ketika itu Sobat sedang berada di Padang Sidempuan sebagai seorang PNS Guru Agama Katolik. “Andaikan saat itu tahu Pastor Lisi meninggal saya pasti berangkat ke Kabanjahe,” kata Sobat. Dia ayah dari Prisila, Suster M Vianny SFD, Advent dan Ignatius Ivo.

 

“Saya tahu berita itu setelah pastor kami di Padang Sidempuan seorang Kapusin asal Jerman memperlihatkan foto Lisi kepada saya sepulang dari melayat kematian Pastor Lisi.”

 

Pastor Theo, nama misionaris Kapusin Jerman itu, menunjukkan Sobat sebuah foto sembari bertanya. “Kenal tidak dengan Pastor yang ada di foto ini?”

 

Sobat menjawab, “Saya kenal. Mengapa dan ada apa Pastor?”

 

Pastor Theo mengatakan foto itu sengaja dia ambil usai menghadiri pemakaman Pastor Lisi. “Sebagai sesama Kapusin, para pastor hadir bersama saat pemakaman Lisi.”

 

 

Saat itulah Sobat tahu Lisi sudah tiada. Dia sengaja tidak diberi tahu saat Pastor Theo berangkat ke Kabanjahe. “Saya langsung menangis. Pastor yang melebihi figur bapak bagiku telah berpulang selamanya. Saya menangis mengenang semua kebaikan dan perbuatan baiknya. Kok saya tidak diberi tahu sehingga tak bisa hadir memberi penghormatan terakhir.”

 

Bagaimana kisah hingga perasaan begitu dalam tentang Pastor Lisi Pak?

 

“Pastor Lisi, ah, bagaimana saya bisa melupakannya,” kata Sobat sembari meneteskan air mata. Begitu banyak kenangan dan kisah yang membuat saya hingga sekarang merindu dan terus tergiang. Tak bisa lupa wajahnya dan amat jelas terbayang sampai sekarang.

 

Sobat mengenal Lisi belakangan tetapi ini menancapkan kenangan dalam. “Memang saya sudah memeluk Katolik sebelum Pastor Lisi datang karena saya dibaptis Pastor Brans, pendahulu Lisi,” katanya.

 

Hidup saya berjalan normal saja selama menjadi Katolik. Di masa remaja saya punya cita-cita layaknya remaja lain. Saya dulu ingin menjadi polisi, tentara AL, AU, AD. Saya ikuti test tetapi semuanya gagal. Saya berusaha terus sekuat mungkin tetapi tetap saja gagal. Ini membuat saya pernah bertanya-tanya mengapa gagal melewati itu semua. Tak ada jawaban.

 

Akhirnya saya membahagiakan diri saja dengan menerima kenyataan bahwa saya cukuplah menjalani pendidikan tingkat SMP saja. Dan hidup harus berlanjut bagaimanapun juga. Semuanya datar saja tanpa gejolak berarti setelah serangkaian kegagalan dalam mencapai cita-cita.

 

Setelah Brans pergi, Lisi datang menggantikannya di Tanah Karo. Saya sudah terbiasa menjadi Katolik dan tak terbayang sesuatu yang luar biasa kelak. Menjadi Katolik saya jalani dengan senang hati. Lisi datang dan disambut seperti menyambut para Pastor lainnya, bahagia pada tingkat biasa saja.

 

Namun hari demi hari berlalu perlahan-lahan ada semacam perubahan dalam batin dan rohaniah. Ini diawali dengan pertemuan demi pertemuan di mana Pastor Lisi memiliki pola sapaan unik yang

menyentuh seperti, “Kai britandu ndu Pak Tarigan, ndigan kam ku sampati Pak Tarigan.”

 

Saya mulai tergerak dan lebih bersemangat lagi soal beragama dari yang sudah bersemangat. Mimik dan tutur kata Lisi agak lain, yakni menyentuh tulus dan tidak dibuat-buat. Ini amat menyemangati. Jika kita sedang berada dalam jangkauan tangan Lisi, pundak kita akan dia tepuk-tepuk bak mengajak, merangkul bahkan seperti menghibur. Ini menyenangkan.

 

Begitulah terus dan terus hingga saya merasa Pastor Lisi telah berkembang menjadi figur bapak bagi saya sendiri. Saat itu bapak saya masih ada dan tidak ada masalah dengannya. Namun kehadiran Pastor Lisi mengubah segala rasa yang kumiliki sebagai Katolik.

 

Saya pun semakin terlibat pendalaman dan perluasan pewartaan. Saya senang dan mau. Nada lembut dalam kalimat Pastor Lisi serasa sejuk menyapa sampai membatin. Ini menyihir dan mampu membuat kita bekerja mewarta seolah-olah itu panggilan wajib dari Tuhan. Tidak ada Pastor Lisi, mungkin tidak akan ada perasaan seperti ini pada saya. Semakin dalam saya terlibat kegiatan mewarta ke desa-desa semakin saya paham arah dan tujuan hidup. Saya yang dulu sempat bertanya-tanya mengapa dulu gagal menjadi polisi dan tentara telah mendapat jawaban. Saya terlahir bukan untuk profesi itu tetapi sebagai awam yang merasul bersama Pastor Lisi. Menyenangkan bekerja, mewarta bersama seorang figur bapak, yang juga seorang pastor.

 

Sobat kemudian berkeluarga dan semuanya berjalan mulus. Saya dan istri (Rasmi Barus) mengikuti Pastor Lisi. Sebagai pasangan, kami sama-sama kukuh mendukung pewartaan. Istri saya pun tak kalah bersemangat.Setelah sekian lama berjalan, semakin terbukti Pastor Lisi memang bukan pastor biasa.

 

Rangkaian kejadian demi kejadian seperti memotret bahwa Lisi punya kekhususan. Dia lebih jauh dari sekadar Lisi dengan wajah lugu, polos serta tutur kalimat melegakan itu.

“Membersihkan” Rumah Angker

 

Muncul satu kisah dalam sebuah penggalan perjalanan waktu. Ada rumah seorang umat yang terbuat dari bahan kayu. Rumah ini menjadi perhatian dan ini bukan rahasia lagi karena sudah umum diketahui di desa saya. Rumah itu selalu berisik setiap sore. Kaso-kaso (broti-broti) seisi rumah berbunyi keras seperti dipukuli keras-keras. Suaranya berisik. Ini bukan saja menganggu tetapi mengesankan sebuah nuansa anker. Berbunyi keras dan dipukul-pukuli tetapi tidak satupun terlihat memukul-mukul broti-broti itu.

 

Pastor Lisi memasuki rumah itu dan berdoa di dalamnya. Itu adalah semacam pembersihan rumah dari kekuatan tak terlihat. Setelah itu rumah tersebut aman dari bunyi-bunyian hingga sekarang.

 

Pewartaan berlanjut. Lisi terus menyemarakkan desa Barus Jahe sebagaimana Lisi juga terus bergema karya dan pamornya di stasi- stasi lain. Dia hadir dan bertutur layaknya dia kelahiran Barus Jahe. Lain waktu lagi terjadi musim kemarau. Seisi desa terutama anak- anak melakukan aksi saling memercikkan air ke sesama. Tujuannya agar Tuhan sudi mengirimkan hujan.

 

Dalam acara ini Lisi nimbrung tetapi dia memohon, “Perciki saya air sekali saja ya karena saya hanya bawa satu baju. Kami para remaja saling memercikkan air ke rekan-rekan sembari berkejar- kejaran. Kami ngakak dan senang melakukan itu. Lisi tertawa senang melihat itu. Para remaja semakin eforik melakukan aksinya.

 

Demikian pula pada acara kerja tahun di Barus Jahe, Lisi hadir. Dia ikut menari dan bergembira bersama para umat.

 

Semakin banyak yang tertarik karena kehadiran Lisi. Banyak umat yang ingin dipermandikan. Nah, suatu saat di desa Suka Julu telah dipersiapkan acara permandian. Namun ada hal yang mengejutkan. Para pendeta dari agama lain melakukan evangelisasi di hari yang sama dan di lokasi yang sama untuk permandian Katolik.

 

Kami sedikit gamang, bingung, khawatir hal menegangkan terjadi. Kami umat Katolik setempat hanya bisa melapor dengan berangkat ke Kaban Jahe. “Pastor, lokasi untuk acara kita Katolik telah dipakai untuk evangelisasi.”

Lisi pun langsung berangkat ke lokasi. Di sana beberapa pendeta hadir. Saya gugup apa gerangan yang akan terjadi. Pastor Lisi pun berkata dalam Bahasa Karo. “Apa yang Anda semua lakukan ini, tidak layak lagi disebut sebagai pewartaan,” kata Lisi sebagaimana dikenang Sobat.

 

Penggunaan lokasi yang dipersiapkan pihak Katolik tetapi terkesan telah direbut. Inilah yang membuat Lisi mengucapkan kalimat di atas.

 

Umat deg-degan menantikan reaksi para pendeta. “Wah, Pastor Lisi didengar. Tidak ada yang melawan. Tidak ada yang buka bicara,” kata Sobat.

 

Hanya ada satu pendeta yang buka bicara, kebetulan dia adek bapak saya, bapauda. “Akulah juga anakku itu,” kata bapa uda itu. Artinya, pendeta yang bapaudanya Sobat itu menyatakan dia pun sama saja dengan anaknya, Sobat, yang telah menjadi Katolik. Jadi tidak perlu ada konflik dalam penyebaran agama. Lokasi itu pun ditinggalkan para pendeta. Jadilah acara permandian massal Katolik berlangsung di lokasi itu. “Hebat Pastor Lisi ini,” kata Sobat. Lisi berbicara dengan nada agak tegas tetapi tidak menimbulkan pertikaian.

 

Itulah antara lain kenangan melekat bagi Sobat selama bertahun- tahun mendampingi Lisi (1967-1982). Kenangan mendampingi sejak anak muda hingga menikah. Kenangan yang membuat Bapak Sobat menjadi andalan pewartaan bagi Pastor Lisi.

 

Apa-apa yang kurang beres, Sobat spontan selalu memberi tahu Lisi. Di zaman pewartaan Lisi ada saja gangguan dalam kehidupan menggereja. Hal seperti ini pasti diketahui Lisi karena Sobat telah menjadi semacam jaringan terpercaya dan amat diandalkan oleh Lisi.

 

Pernah bangunan gereja Katolik di Barus Jahe mengalami kejadian tidak mengenakkan. Ada beberapa orang yang tidak memberi respek. Misalnya Sobat beberapa kali menemukan gereja kotor karena orang-orang buang hajat. Sobat pun melapor.

 

Lalu Lisi mengatakan, apakah Sobat bersedia tinggal di rumah dekat gereja? Sobat menjawab iya, “Bersedia.

Lisi pun berusaha membangun rumah di samping gereja, agar ada yang merawat gereja. Jadilah rumah dibangun dan keluarga Sobat menetap di rumah dekat gereja itu. Bangunan gereja pun terbebas dari gangguan-gangguan.

 

Kisah Lisi tidak berhenti sampai di situ. Suatu saat Lisi meminta ijazah SMP beberapa umatnya. Beberapa umat yang beruntung mendapatkan pendidikan dengan senang hati menyerahkan ijazah tanpa tahu untuk tujuan apa. Tak lama kemudian, umat yang menyerahkan ijazah mendapatkan status sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

 

Sobat Tarigan Tambun bergembira karena tiba-tiba berstatus sebagai guru agama Katolik dengan cap PNS. Ini adalah rezeki. Perhatian yang melebihi dugaan umat datang dari seorang Lisi. Status PNS saat itu tidak mudah dan amat langka. Akan tetapi itulah Lisi, memberi kado tak terduga pada para umatnya.

 

Lisi tidak pernah menjelaskan bagaimana dia melakukan itu. Akan tetapi Sobat menduga kuat, hal itu tak lepas dari peran dan bantuan seorang bupati karo saat itu. “Saya tahu persis bupati yang bukan Katolik itu tetapi dia dekat dan sering meminta nasihat rohani dari Pastor Lisi.”

 

Hubungan terkait rohani antara Lisi dan bupati itu berlangsung lama. Sobat tahu ini karena setelah mendapat status PNS dia pindah ke Kaban Jahe dan tinggal dekat Pastor Lisi. Dia melihat bupati itu dan Lisi akrab berdasarkan penglihatan Sobat.

 

Sobat juga pernah menyaksikan Lisi ikut merujukkan sebuah pasangan yang sudah siap bercerai di Kabanjahe. Kedua belah pihak telah siap dengan saksi masing-masing untuk memberi persetujuan cerai. Secara kebetulan Lisi tahu proses perceraian pernikahan yang sudah di ujung tanduk itu.

 

Mendadak Lisi datang. Hebatnya lagi, dia datang bersama bupati. Atas permohonan Lisi, sang bupati berbicara langsung kepada pasangan yang sedang tak akur itu. Perceraian pun urung dan pasangan itu hidup utuh dan harmonis sampai sekarang.

 

Menemani Lisi mewarta bertahun-tahun di malam hari telah menyebabkan Sobat menjadi jatuh sakit. Dia berobat ke rumah sakit

di Medan. Hasil pemeriksaan menyimpulkan Sobat telah mengidap paru-paru basah. Dokter mengatakan ini akibat suhu dingin dan kelembapan udara di malam hari.

 

Berat Hati Melepas

 

Penyakit Sobat pun diobati. Dia sembuh tetapi kaget karena biaya di luar dugaan dan kemampuannya tidak ada untuk membayar Lisi tidak diam. Dia membantu perobatan sepertiga, pihak susteran yang mengelola rumah sakit menanggung sepertiga. “Saya hanya dikenakan biaya sepertiga. Ini sungguh menolong karena biaya perobatan itu sangat besar untuk ukuran saya saat itu.”

 

Namun demikian penyakit paru-paru basah yang menimpa Sobat muncul lagi. Disimpulkan oleh dokter, Sobat harus bermukim di lokasi bercuaca lebih hangat, tidak cocok di lokasi bersuhu dingin seperti Kabanjahe.

 

Lisi berat hati melepas. Bagi Lisi, Sobat adalah juga andalan pewartaan. Ini dibuktikan dengan terus bertambahnya umat dibaptis, termasuk karena peran Sobat.

 

Namun Sobat terus mengidap sakit paru-paru basah. Dengan berat hati Lisi melepasnya dan jauh pula. Lokasi sebagai guru agama Katolik yang lowong saat itu hanya ada di Padang Sidempuan. Karena ini terkait pemindahan tugas seorang pegawai negeri, maka jadilah Sobat pindah ke Padang Sidempuan.

 

Lisi tidak mau melepasnya begitu saja. Dia ingin Sobat tetap aktif di gereja dan evangelisasi di Padang Sidempuan. “Saya dengan senang hati melakukan itu. Bagi saya, pekerjaan Pastor Lisi telah merasuki diri saya,” kata Sobat. Baginya, pesan Pastor Lisi adalah pesan tak langsung dari Tuhan.

 

Lisi pun memberi surat rekomendasi kepada Pastor Theo di Padang Sidempuan. Isinya, “Saya menuliskan surat ini dengan menyatakan, saudara tidak akan kecewa menerima dan memberinya peran besar dalam pewartaan. Sobat adalah umatku. Kepadanya saya telah mengandalkan banyak pekerjaan gereja.”

Dan benar, Theo pun dengan senang hati menjadi sahabat untuk Sobat. Kedekatan Sobat dan Pastor Theo terjalin. Theo senang pada Sobat karena Sobat pun menjadi andalan pewartaan di Padang Sidempuan.

 

Maka ketika Pastor Theo pergi ke Kabanjahe untuk menghadiri pemakaman Lisi di tahun 1984, dia tidak mengajak Sobat. Jika tahu, Sobat pasti tak mau tinggal diam. Namun Sobat adalah landasan kepercayaan jika gereja sedang ditinggal oleh Pastor Theo sebab semua urusan paroki dan gereja bisa ditangani Sobat.

 

Sekembali dari Kabanjahe, barulah Pastor Theo memberi gambar pastor Lisi yang sedang disemayamkan. Merebaklah tangisnya. “Dia telah memberi segalanya untuk saya. Pastor Lisi adalah bapak, yang memahami dan memenuhi semua kebutuhan anaknya. Bapakku sendiri ada tetapi Pastor Lisi adalah bapakku yang memiliki arti lebih.”

 

Sudah sekian lama Lisi meninggal tetapi masih bisa menangis sekarang? Demikian saya bertanya pada Pak Sobat. “Nak, sudah lama memang kematiannya tetapi tetap begitu jelas semua kenangan akan Pastor Lisi. Ini masih jelas hingga sekarang saat saya bicara ini. Saya berbicara sambil memegangi gambar pastor lisi dengan ibundanya,” kata Sobat mengakhiri pembicaraan.

Check Also

VIDEO BELAJAR BAHASA SPANYOL DASAR

PERTEMUAN 1 . . PERTEMUAN 2 . . PERTEMUAN 3 . . PERTEMUAN 4 . …

Deja un comentario

Tu dirección de correo electrónico no será publicada. Los campos obligatorios están marcados con *