Anakku Na Burju (Anakku yang Baik)

Bandara Internationl Soekarno Hatta, Jumat, 20 Desember 2024, pukul 01.45 WIB, ruang tunggu penerbangan Qatar Airway dengan flight number QR 956 Jakarta, Singapur, Doha dan berakhir di Kinshasa, Kongo.

 

Kolonel Infatri Agustinus Simamora duduk dengan tenang bersama penumpang lainnya menunggu pengumuman untuk segera masuk ke pesawat. Tidak ada yang Istimewa bagi Agustinus karena hamper setiap tahun dia selalu terbang ke luar negeri untuk memantau Pasukan Garuda penjaga perdamaian di negara-negara konflik. Pada awal tahun, ia terbang ke Lebanon untuk tugas yang sama. Kolonel Agus, begitu ia biasa dipanggil oleh atasan dan teman-temannya, adalah salah satu lulusan terbaik Akmil dan telah menjalani tugas pada semua level. Kemahirannya berbahasa asing, Inggris, Prancis dan Spanyol, menempatkan diriny sebagai seorang prajurit dengan tugas-tugas yang berkaitan dengan dunia internasional.

 

Pada duty flight kali ini Agustinus menampingi Letjen Sumantri Djiwandono, seorang jendral yang sangat disegani dan dicintai oleh para prajuritnya. Kemampuan tempurnya tidak diragukan, tetapi yang paling menonjol dari Sumantri adalah kemampuan inteligennya sehingga ia mendapat julukan the bunglon, tetapi ada juga yang menyebutnya the gost loreng-loreng. Ia bisa menjelma menjadi wanita cantik, menjadi pemulung, supir taksi, penjual sayur dan bahkan menjadi ustad. Menjadi apa saja untuk mengamankan target tertentu. Ketika Paus Fransiskus datang ke Indonesia, ia tampil sebagai wartawan berbahasa Prancis dengan nama Pierre Dominique Garnier dari media AFP.

 

Kemanapun Paus, Sumantri juga tampil. Kamera PowerShot SX 740 HS selalu siaga mengambil orang-orang di sekitar Paus. Kamera tersebut tidak berfungsi mengambil gambar, tetapi merekam video yang terhubung langsung dengan pusat inteligen khusus pengawalan Paus. Sebagai wartawan berbahasa Prancis, Sumantri memakai rambut pirang dan hidung lebih manjung sedikit.

 

Agustinus dan Sumantri duduk berdampingan di ruang tunggu penergangan International Terminal 3 Soekarno Hatta.

 

Jam dinding ruang tunggu memperlihatkan pukul 01.45 menit, pintu menuju koridor segera akan dibuka, karena pesawat akan lepas landas pada pukul 02.15 WIB.

 

“Para penumpang dengan nomor penerbagnan QR 956 segera memasuki pesawat” terdengar pengumuman dari petugas yang secara teratur mengulangi pemberitahuan tersebut dalam dua versi bahasa, Indonesia dan Inggris. Kol. Inf. Agustinus dan Letjen Sumantri memilih untuk memasuki barisan pada ujung antrian.

 

Agustinus, sebagai prajurit lebih rendah ia menunggu komandannya untuk berdiri lebih dahulu.

 

Letjen Sumantri memberikan kode untuk beranjak dari tempat duduk untuk memasuki barisan antrian.

 

Persis ketika Kol. Inf. Agustinus hendak berdiri sembari mengamil tiket pesawat dari kantong bajunya, sebuah foto turut keluar dan jatuh di lantai. Agustinus segera memungut foto tersebut disaksikan oleh Sumantri.

 

Foto ibu tersayang jatuh ke lantai.

 

Belum sempat Agustinus mengambil kembali foto tersebut, sebuah notikasi whatsapp news berbunyi. Sembari mengambil foto, Agustinus juga merogoh kantong celananya untuk melihat pesan electronic tersebut.

 

“Ibu masuk rumah sakit, Bang.”

 

Agustinus tiba-tiba mematung dengan pandangan kosong, sementara jiwanya terbang bagai kilat menuju Balige. Otaknya berkerja dengan cepat memperlihatkan gambar-gambar kontempaltif ibunya, Marta Simanjuntak, 86 tahun yang sedang sakit, sulit makan, sulit bangun dari tempat tidur dan harus dimandikan oleh cucu, anak, menantu secara bergantian.

 

Otak Agustinus segera bergerak cepat dalam kekakuan fisik, dengan cepat ia mengambil Keputusan bahwa ibunya akan meninggal tanpa kehadiran dirinya, karena tugas ke Afrika akan berlangsng selama dua minggu.

 

Semua penumpang QR 956 sudah beranjak dari tempat duduknya dan memasuki antrian. Sumantri dan Agustinus masih berdiri bersama, tetapi belum berada dalam barisan antrian tersebut.

 

“Izin Jendral. Ibu sakit parah dan masuk rumah sakit.” Jelas Agus dengan singkat tetapi dengan nada rendah dan suara yang ditahan. Setelah mengucapkan itu, Agustinus menundukkan kepalanya sembari mengucapkan permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar komandannya memberikan perintah untuk tidak melanjutkan penerbangan.

 

Tidak ada jawaban dari komandannya. Sementara semua penumpang telah  hilang di telan lorong menuju garbarata.

 

“Para penumpang dengan nomor penerbagnan QR 956 segera memasuki pesawat”

 

Suara pemberitahuan kembali terdengar. Tetapi Agustinus dan Sumantri tetap tidak beranjak. Agustinus memejamkan mata lebih dalam lagi agar doa singkatnya didengarkan oleh Yang Maha Kuasa.

 

“Kolonel, ini tugas negara. Berangkat!” Terdengar suara Letjen Sumatri dengan nada tegas tetapi dengan volumen rendah untuk tidak menarik perhatian penumpang dan petugas keberangkatan.

 

Mendengar perintah pimpinannya, Kol. Inf. Agustinus segara menegakkan kepala dan memberi hormat. Rasa sedihnya tiba-tiba ditimbun oleh sebuah tanggungjawab besar. Agustinus segera melangkah mendahului komandannya yang menyusul di belakang.

 

Di dalam pesawat Agustinus memilih tempat duduk disamping jendela, sekalipun seharusnya Sumantrilah yang duduk di samping jendela. Kedua prajurit tersebut sama sekali tidak bertukar kata maupun mata, keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

 

Agustinus menatap gelapnya alam dari jendela selebar sapu tangan tersebut. Alam gelap seperti hatinya gelap karena tidak akan melihat ibunya berangkat ke surga nan terang. Jiwa prajurit mengabdi para ibu pertiwi sama besarnya dengan cintanya kepada ibunya, sosok petani cabe yang ulet. Marta Simanjuntak menghabiskan hampir lebih dari setegah usianya untuk menanam cabe. Dan dia bangga sekali karena keringatnya mampu memberikan dana yang cukup untuk menyekolahkan keempat putra putrinya. Agustinus adalah anak ketiga, tetapi putra pertama dalam keluarga. Bagi masyarakat Batak, memiliki seoernag putra adalah anugrah yang mulai, apalagi putra tersebut memiliki karir atau pangkat yang layak dibuahbibirkan saat ada pertemuan keluarga atau  pesta adat.

 

Marta sangat bangga memiliki putra seorang prajurit, sebuah cita-cita yang dulu diharpkan oleh bapaknya Haposan Simamora.

 

Pada ujian terakhir Haposan, seperti yang selalu ia ceritakan kepada anak-anaknya, tidak lulus tes fisik terakhir karena jari kakinya sakit sehingga tidak bisa berjalan dengan normal. Kerbau mereka, tanpa sengaja menginjak kaki tuannya saat mengeluarkan si kerbai dari kandang. Cita-cita sang bapak, akhirnya bisa dipenuhi oleh putra mereka, Agustinus. Foto Agustinus terpampang dengan rapi persis disamping foto almarhum Haposan yang sudah lebih dahulu berangkat ke rumah Bapa lima tahun yang lalu. Kala itu Agustinus berada di Lebanon dan tidak ikut serta dalam acara adat kematian masyakarat Batak. Haposan hanya bisa menanggis di batu nisan ayahnya dua minggu setelah beliau wafat.

 

Agustinus tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebagai anak laki-laki pertama, dia sangat ingin melihat ibunya untuk terakhir kali dan tampil pada acara adat kematian masyarakat Batak Toba. Harapan tersebut tinggal kenangan semata, karena ia harus terbang ke Kongo untuk tugas negara dan  harus berada di negara tersebut selam dua minggu. Agustinus merasakan malam itu sangat gelap, segelap hatinya.

 

Letjen Sumantri yang duduk disampingnya tahu persis pergolakan batin prajurit kepercayaannya tersebut. Agustinus tidak tahu bahwa komandannya itu pun pernah mengalami hal yang sama saat dia harus mendampingi  Presiden Jokowi ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia dan Ukraina pada tahun 2022. Persis ketika pesawat mendarat di Moskow, Mayjen Sumantri, kala itu pangkatnya masih mayjen mendapat berita whatsapp bahwa ibunya meninggal dunia. Dia hanya bisa menanggis dikamar mandi bandara Alexander S. Pushkin, lima menit saja. Keluar dari kamar mandi Sumantri kembali seperti sedia kala, tidak ada mata mereah dan tidak ada wajah sembab. Dia memang seorang jendral yang tegar.

 

Letjen Sumantri tahu dengan persis perbedaan pesta adat kematian masyarakat Jawa muslim dan Batak kristen. Jenazah muslim pada umumnya akan segera dikuburkan pada hari itu juga dan tidak memiliki pesta adat yang rumit seperti masyakarat Batak yang bisa berlangsung dua hari atau lebih. Bahkan tidak jarang penguburan ditunda karena menunggu salah satu anggota keluarga yang belum tiba.

 

Sumantri mengetahui dan memahami dukacita prajuritnya tersebut, karena dia pernah bertugas sebagai komandan di beberapa wilayah Sumatera Utara, Kabanjahe, Siantar, Balige dan Medan. Bahkan Letjen Sumantri bisa berbahasa Batak Toba dan Karo, sekalipun tidak lancar. Dengan Agustinus, Sumantri sering menguapkan beberapa kata atau kalimat bahasa Batak Toba, seperti ‘dang adong hepeng’ (tidak ada uang), unang mabiar (jangan takut), tetapi kadang-kadang saat cara bebas di luar tugas, Sumantri sering melemparkan joke-joke a la Medan, bodot (moyet), pargabus (pembohong).

 

Kemampuan komunikasi sosial cultural inilah yang membuat Sumantri disegani dan dicintai oleh para prajuritnya. O ya, satu hal yang menarik dari si jendral, dia juga sangat suka menyanyikan lagu-lagu Batak pada acara-acara gathering bersama keluarga prajuirt. Bahkan pada memory hp-nya terdapat banyak sekali lagu Batak. Anakku Na Burju (Anakky Yang Baik) adalah lagu favorit beliau. Lagu ini bercerita tentang doa ibu agar anaknya sukses dalam mengejar cita-cita.

 

Sebelum pesawat take off, Letjen Sumantri menghibur dirinya dengan mendengarkan Anakku Na Burju melalui wireless earphone. Setelah satu bait lagu, Sumantri memejamkan mata dan menikmati pesan lagu tersebut. Sejurus ia mengengam tangan kiri Agustinus yang sedikit kaget akan ulah komandannya tersebut. Keduanya langsung berada mata, dan secepat kilat salah satu earphone telah berpindah ke teliga Kol. Inf. Agustinus. Keduanya kini mendengarkan lagu yang sama Anakku Na Burju sembari saling bergandeng tangan.

 

Saat pesawat lepas landas, keduanya sudah larut dalam duka dan cinta kepada sosok ibu. Lagu Anakku Na Burju mengiringi perjalanan tugas mereka untuk membahagiakan negara ibu pertiwi.

 

 

Anakku naburju anak hasianku
(putraku yang baik putraku yang kusayangi)

Anakku nalagu
(putraku yang baik hati)

Ingot do ho amang di akka podani
(ingatnya engkau nak tentang petuah)

Natua tua mi
(orang tua mu ini)

 

Dung hupaborhat ho namarsikkola i
(sudah aku berangkatkan engkau sekolah)

Tu luat na dao i amang
(ke tempat yang jauh putraku)

Benget do ho amang, benget do ho
(kuatlah kau nak, kuat lah kau nak)

Manaon na hassit i
(menghadapi yang sakit ini)

 

Dung lam dao amang, pangarantoan mi (sudah tambah jauh nak perjalan jauhmu)

Anakku na lagu
(putraku yang baik)

Sipata lomos do, natua tua mon
(kadang bimbang nya orang tuamu ini)

Disihabunian i
(dari sini)

Hutangiangkon do, mansai gomos amang
(kudoakan nya selalu)

Anggiat muba rohami
(mudah-mudahan lebih baik kamu)

Dijalo do amang, dijalo do
(di terima, diterima)

Tangiang hi amang
(doa ku itu nak)

 

Reff.
Ipe amang, hasian ku
(meskipun begitu sayangku)

Anakku naburju
(putraku yang baik)

Pagomos ma tangiang mi
(selalulah engkau berdoa)

Tu mula jadi nabolon i
(untuk menjadi yang besar)

 

Anggiat ma ture, sude hamu pinoppar hi amang
(mudah-mudahan semua anaku bagus-bagus nak)

Marsiamin aminan, marsitukkol tukkolan
(selalu tolong menolong)

songon suhat di robean i..
(seperti ubi talas yang di ladang itu)

 

Anak na burju
(anakku yang baik)

QR 956 lepas landas membawa dua anak manusia  yang mencintai negara dan ibu.

 

Advent Tambun, 19/12/2024

Check Also

BERCINTA DI PASAR RAMAI CHINA TOWN GLODOK (1)

Persis di depan petak sembilan, Glodok. Aku sih menunggu ojek untuk berangkat ke JEMBATAN LIMA.. …

Deja un comentario

Tu dirección de correo electrónico no será publicada. Los campos obligatorios están marcados con *