BELAJARLAH DARI DESA, WAHAI KOTA!

Tersebutlah nama keluarga Saimin dalam verita foto yang diturunkan oleh Kompas tertanggal  29 Maret 2018, tepatnya pada halaman ekonomi. Berita foto ini dengan sendirinya mampu berbicara siapakah keluarga Saimin. Dapur yang bersebelahan langsung dengan kandang sapi, dua tong plastik berisi air di dapur yang tersusun ala kadarnya, ember plastik di tengah dapur, beberapa botol tempat air minum dan seorang ibu yang tidak muda lagi.

Saya tidak hendak memerikan apresiasi fotografis, yang memang bukan bidang saya, tetapi tulisan yang tertera di bawah foto itu seharusnya membuat kita bertanya pada diri sendiri tentang ketergantungan energi dalam keseharian kita. Keluarga Saimin hampir 10 tahun memanfaatkan biogás dari kotoran sapi untuk memasak di rumah mereka di Desa Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah….. Saya kutip kata per kata keterangan foto tersebut. Dan di penghujung tulisan tertera ….ditetapkan sebagai desa mandiri energi.

Belajarlah dari desa, wahai kota. Mungkin pesan dibalik foto tersebut. Pesan yang sama sepertinya juga disampaikan oleh Yudi Latif, Kepala Badan Pembinaan Idiologi Pancasila, dalam tulisannya Kehilingan Indonesia yang juga terbit pada hari yang sama. DAlam salah satu paragraf tulisan panjang tersebut, Latif menuliskan …..para elite Ibu Kota harus banyak belajar dan berempati keapda rakyatnya. Pergilah ke seluruh plosok Tanah Air. Di mana pun titik bumi negeri ini dipijak akan dijumpai keragaman manusia yang menanti penghargaan dengan kegigihan daya juang. Melihat Indonesia dari pinggiran seperti melihat pandaran cahaya yang lebih terlihat indah dari lingkar terluar.

Desa kuat negara kuat. Ini adalah selogan seorang penggerak pertanian pedesaan yang pernah muncul di salah satu tv swasta. Sejatinya desa-desa di Nusantara ini adalah desa-desa yang masih merawat dengan baik kearifan lokal. Persis ketika kota tidak mampu memberikan solusi terbaik bagi negara, bandingkan dengan berita korupsi yang selalu menghiasi berita, desa tetap saja menjalankan rutinitas hariannya sepertinya tidak terkena dampak langsung kejahatan kerah putih kaum terpelajar negeri ini. Saya sengaja menuliskan sepertinya’ karena sesungguhnya kejahatan kerah putih berdampak langsung pada rakyat bawah.

Kita tidak bisa mengmungkiri bahwa desa adalah basis masa terakhir pertahanan Pancasila. Daripada tour ke luar negeri yang menghabiskan uang negera, cobalah sesekali tour ke desa-desa dan rasakan senyum tulus, sugguhan apa adanya dan ketulusan dalam kata-kata mereka. Merekalah citra Indonesia sesungguhnya. Merekalah yang menopang perekonomian kita selama ini. Dipundak merekalah negera ini sedang berdiri kokoh.

Dalam Rembung Tani Nasional 2017, salah seorang tokoh penting pada pertemuan itu dengan bangga menjelaskan peran desa saat ini, di desa air masih bersih, udara masih bersih dan tanah masih bersih. Beliau lupa bahwa ada yang jauh lebih penting dari sisi fisik tersebut yakni jiwanya masih bersih.

Sulit bagi kita untuk menampik bahwa desa saat ini memancarkan daya tarik tersendiri setelah tidak sedikit kota yang gagal menjadi rumah yang ramah bagi penduduknya, kemacetan, polusi, kriminalitas dan persaingan antar individu sangat tinggi. Sangat wajar ditemui di kota-kota gambaran hidup sendiri sekalipun dalam keramaian, bahkan tidak jarang ada orang yang baru kenal tetangga sebelah rumah setelah ada kemalangan atau kemalingan.

Terkadang terasa geli membaca berita di koran-koran bahwa para tetua-tetua desa mendapat pengarahan atau pelatihan tentang kepemimpinan dari konsultan yang didatangkan dari Ibu Kota. Besar hasrat saya untuk mengetahui apa dan bagaimana ciri leadership zaman now yang disampaikan oleh para konsultan bagi mereka yang hidup di alam yang masih bersih, baik tanah, air, udara dan jiwanya. Bukankah sebaliknya yang harus terjadi. Kita, yang merasa diri warga kota belajar dari mereka yang masih mempertahankan jiwa gotongroyong?

Pesan tertulis Yudi Latif, pergilah ke seluruh negeri…  saya kira bukan sebuah tulisan hampa tanpa makna. Tetapi sebuah kesimpulan yang lahir dari kajian refleksi akademis dan pangalaman nyata. Tidak salah kalau kita diingatkan kembali bahwa Pancasila digali dari sumur-sumbur terdalam budaya-budaya Nusantara yang hingga kini masih hidup dan dihidupi oleh masyarakat desa. Bedanya mereka tidak bisa membahasakannya dalam istilah-istilah mentereng para konsultan.

Sebagai penutup tulisan ini saya masih ingat pesan seorang teman yang hidup dan berkarya di Asmat, Papua. ‘Saya tidak datang ke sini untuk mencerdaskan mereka, tetapi saya belajar dari mereka agar saya dicerdaskan bagaimana hidup lebih baik dengan alam.”

Advent Tambun (Spanish Teacher)

30/iii/2018

Menyelesaikan Studi Master Pengajaran Bahasa Spanyol 2008 di Universitas Alcala, Spanyol.

Check Also

La escultura megalítica Lore Lindu, prueba de una gran civilización en Sulawesi Central

Esculturas o estatuas de diversas formas parecen estar esperando la presencia humana para llegar al …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *