Atejadi turun dari bus Sinabung Jaya, bus khas Tanah Karo yang terkenal dengan nyali para supirnya. Mereka terbisa menyalib di tikungan tajam di tengah-tengah gunung hutan tropis dataran tinggi Karo.
Atejadi tidak pernah mau memilih duduk di bangku depan, di samping bang supir. Setiap kali turun ke Medan melewati kelok 12 dari Penatapan menuju Bandar Baru, memori masa kecil Atejadi kembali muncul ketika ia menyaksikan sebuah truk puso lintas Sumatera menghilas ludes sepeda motor yang datang dengan kecepatan tinggi dari arah yang berlawanan. Atejadi pingsan saat itu juga. Ia baru siluman ketika telah tiba di Simpan Selayang, Medan.
Selama tiga hari ia kehilangan selera makan dan tidak bisa diajak bicara. Matanya kehilangan arah tatapan. Tangan kakinya lemah lunglai. Atejadi kecil baru siluman ketika Keleng Barus, Mama Tua[1]-nya datang membawa riris dan tengguli. Aroma gula aren cair itu membangkitkan rasa lapar yang luar biasa. Tiga bohan riris dilahapnya sampai habis tanpa henti. Dan setelah menyelesaikan semuanya, matanya bersinar, kakinya kembali kekar, tanganya kembali liar.
¨Bujur, Matua! ¨katanya dan langsung lari keluar rumah mencari teman-temannya. Tidak satupun paham apa yang terjadi. Atejadi pingsan dalam satu tatapan dan bangkit dalam satu hisapan aroma tengguli. Tidak ada yang paham. Mereka hanya berujura dalam hati ‘bujur man Dibata.’
Atejadi turun di Bandar Baru, sebuah kelurahan yang termasuk wilayah kecamatan Sibolangit, Kabupaten Karo. Lokasinya yang terletak pada ketinggian 1.000 mpdl. memanjakannya dengan udara sejuk dan pemandangan yang alam yang teduh sehingga sangat cocok sebagai tempat peristirahatan bagi penduduk kota Medan yang panas.
Dengan ransel dipunggung dan sandal gunung bekas dari Swiss, Atejadi melangkahkan kakinya setapak demi setapak menuju puncak Sikeben di mana terdapat sebuah biara pertapa biarawati dari pengikut Santo Fransiskus, salah satu orang suci agama Katolik. Dikisahkan, Santo Fransiskus bisa berbicara dengan semua mahluk hidup sehingga ia dinobatkan sebagai santo pelindung bagi para pencinta alam.
Desir angin,kicau burung dan sesakali ayunan kayu setelah diloncati monyet-monyet menjadi sahabat Atejadi sepanjang perjalanan menuju biara tersebut. Pohon aren yang tumbuh subur disepanjang jalan menuju biara menjadi hiasan tersendiri. Bunga kuning yang turun melambai terlihat penuh pesona alamiah. Kumbang liar berlomba kian kemari mencecap manisnya nektar pohon khas hutan tropis Indonesia tersebut.
Di Karo sendiri, pohon aren atau lebih dikenal dengan pohon enau memiliki sebuah leyenda. Dikisahkan seorang wanita cantik memutuskan untuk menyerahkan dirinya kepada alam dalam bentuk pohon aren sebagai penebus atas kesalahan-kesalahan abangnya selama hidupnya. Bagi masyarakat Karo, pohon enau atau pohon aren memberikan sejuta manfaat, mulai dari ijuknya sebagai atap rumah adat, pohonnya untuk dinding, tulang daunya sebagai sapu lidi, tetapi yang paling menguntungkan dari enau adalah niranya. Proses pengambilan nira tersebut merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Produk turunan dari nira bisa berupa tuak dan juga bisa menjadi gula aren. Nira yang sudah dikumpulkan diolah menjadi minuman keras dan sebagian lagi dimasaak agar berubah menjadi gula. Belakangan Atejadi menjadi familiar dengan tema gula aren karena para pencinta kopi mulai melakukan gerakan mengganti gula pasir putih dengan gula aren. Menurut penelitian, indeks glesimiks dari gula aren lebih rendah dari gula pasir sehingga lebih baik bagi kesehatan.
Malem Ate adalah sahabat karib Atejadi ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Setelah lulus dari Universitas Sumatera Utara pada jurusan Psikologi, ia memutuskan untuk menjadi seorang suster pertapa. Tidak banyak yang tahu apa motivasinya. Namun, tidak sedikit yang beranggapan ia memilih sebagai pertapa karena ditinggal mati oleh kedua orangtua dan kedua adiknya ketika pesawat Mandala jatuh di Polonia, 5 September 2005. Keluarganya turut menjadi korban dari 100 orang penumpang dan 49 penduduk yang terkena dampak dari salah satu kecelakaan transportasi terburuk dalam penerbangan Indonesia.
Dua bulan air mata Malem Ate mengalir setiap hari sekalipun tanpa isak tangis. Perih pedih ditinggal keluarga hanya dalam hitungan detik. Malem Ate seharusnya ikut serta pada penerbangan itu ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan Rayon Barus, adik ibunya yang bekerja di Bank Indonesia. Semua tiket dan jemputan di bandara Soekarno Hatta, Jakarta telah menanti mereka. Malem Ate yang tidak pernah ke Jakarta, merasa girang bukan kepalang. Ia sudah membayangkan dan merencanakan kunjungan turistiknya ke Monas, Bundaran HI, Taman Mini dan Ancol. Rayon Barus, Mama uda-nya sudah menjanjikan untuk menemani bebere-nya[2] untuk menikmati kota Jakarta sepuasnya.
Namun, kecelakan itu mengubur dalam-dalam semua mimpinya. Bahkan pesta perkawinan Mama Uda-nya pun harus ditunda hingga setahun kemudian.
Malem Ate menghabiskan waktunya duduk di kursi goyang yang terbuat dari rotan di teras rumahnya. Dari pukul enam pagi hingga enam sore, Malem Ate duduk mengoyang-goyangkan badanya seperti diayunan. Tidak ada yang berani melarang dan memberi nasehat. Hanya suster Krispina Tarigan, seorang biarawati pengikut Santo Fransiskus yang mampu membuka mulutnya untuk berbagi cerita. Tiga kali seminggu suster Krispina datang menjeguk Malem Ate. Dua wanita wanita itu menghabiskan waktunya sepanjang sore sembari bercerita dunia fana dan dunia akhirat. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setiap kali suster Krispina datang, selalu saja ada cerita baru yang muncul dalam pertemuan itu.
Ada satu hal yang menjadi ciri khas kedatangan suster Krispina, ia selalu membawa sebuah markisah dan setangkai bunga mawar merah. Sebelum memulai bercerita, suster Krispina akan meletakkan bunga mawar itu di dalam gelas dan selanjutnya membelah markisah dan menyantapnya bersama Malem Ate. Rasa manis asem markisah dan aroma bunga mawar menjadi mantra untuk membuka mulut Malem Ate untuk bercengkerama. Setelah tiga bulan rutinitas pertemuan ini berlangsung, Malem Ate akhirnya memutuskan jalan hidupnya menjadi seorang biarawati pertapa dan atas saran suster Krispina, Malem Ate memilih biara Santa Klara di Sikeben.
Atejadi akhirnya tiba di depan gerbang biara Santa Klara. Pak tua penjaga gerbang biara mengatarkan Atejadi ke dalam bangunan utama biara. Dari jauh Malem Ate telah menanti kedatangan sahabatnya Atejadi, sahabatnya. Burung tak henti berkicau, suara penggerat kayu saling bersahutan dan desiran air hilir mudik di antara dedaunan. Alam pun turut gembira melihat dua anak manusia kembali dalam keceriaan masa remaja mereka.
Hanya dalam kedipan mata keduanya larut dalam pelukan. Tidak ada kata dalam pertemuan itu, hanya air mata dua dari gadis dewasa yang telah memilih jalan hidupnya masing-masing. Setelah puas dalam pelukan rindu dua anak manusia. Atejadi meletakkan bunga mawar di dalam gelas dan membelah markisah yang ia bawa. Dua belahan rata markisah warna coklat tua menjadi mantra untuk memulai percakapan pagi hari menjelang siang.
“Uga berita Pak Tua[3] ras Mak Tua, me sehat?” tanya Malem Ate membuka pembicaraan.
“Sehat…sehat….”jawab Atejadi singkat.
“Eh…kopi….mana kopinya.” pinta Malem Ate setengah mengoda. “Kopi Karo…. Nikmatnya tidaknya tak terkiro….he…he…he…he…, ”
Dua gadis dewasa itu larut dalam cerita indah kehidupan dunia biara dan aroma kopi karo yang telah mendunia. Malem Ate bercerita tentang ketengan hidup di tengah-tengah hutan tropis Tanah Karo, tentang alam yang sangat bersahabat dalam doa-doa khusuknya sepanjang malam.
“Menunggu kopi-kopi berbunga, berbuah hijau lalu merah merona ibarat……emhmmm, nggak ahk...males melanjukan ceritanya,”goda Malem Ate disambut tawa ceria Atejadi.
Masih dalam tawa cerita, Atejadi membuka ranselnya dan mengeluarkan bambu hijau ukuran tiga puluh sentimeter. Bambu seukuran betis lelaki dewasa itu ditutup dengan daun pisan kering. Atejadi membukanya dan memperlihatkannya pada Malem Ate. Sebuah bibit pohon kopi arabika dari varietas Sigarar Utang.
“Ayo kita tanam pohon ini, Malem!” ajak Atejadi pada sahabatnya itu.
Sejurus langkah mereka sudah berada di taman samping biara, persis di bawah patung Bunda Maria. Tanah yang subur di dataran tinggi Karo, bekas abu vulkani ratusan mungkin ribuan tahun yang lalu memberkikan kemudahan bagi Atejadi untuk mengali tanah hanya dengan kedua tangannya. Atejadi mencabut tutup bambu bagian bawah dan meletakannya ke dalam lobang yang sudah dibuat.
“Tataplah pohon ini seperti layaknya kamu menatapku saat ini. Berceritalah padanya tentang pengalaman-pengalaman rohanimu di rumah biara ini. Ketika dewasa, pohon kopi ini akan bercerita padamu tentang perjuangan petani kopi Karo,” ujar Atejadi.
Alam seakan-akan berhenti, angin sore tak sanggup menyentuh dedaunan. Kicau burung hilang ditelan kesunyian hari. Suara jeritan monyet hutan pun masuk dalam silencium mangnum[4]. Hanya ada dua gadis dewasa di tengah alam semesta yang tiba-tiba mati suri dan sebuah pohon kopi kecil yang akarnya tiba-tiba menyentuh sumber kehidupan abadi. Akar pohon kopi Sigarar Utang itu merambat keseluruh penjuru seperti bendungan pecah. Akar tunggangnya mencorok lebih dari tujuh meter kebawah tanah, sementara akar serabutnya merambat ke tujuh meter sekitarnya. Pohon kopi itu akan menjadi pohon kopi terbesar sepanjang sejarah, bahkan alam pun berhenti bernafas sejenak menghormati kedatangannya….
15.12.2019
catatan kaki
[1] Mama Tua… sebutan paman dari pihak ibu. Paman yang paling tua. Jika ada tiga paman, maka paman paling tua disebut dengan Mama Tua, paman yang kedua disebut dengan Mama Tengah, dan paman yang paling kecil disebut Mama Nguda. Peran adat Mama atau Tulang untuk Batak Toba sangat penting dalam adat. Mereka sangat dihormati. Bahkan dalam adat mereka disebut dibata si teridah, tuhan yang terlihat.
[2] Bebere…. keponakan dari pihak saudari.
[3] Pak Tua dan Mak Tua… adalah sebutan kepada paman yang merupakan saudara dari ayah, atau orang tua yang memiliki marga yang sama. Pak Tua adalah paman tertua, jika ada adiknya maka dipanggil Pak Tengah dan bila ada lagi yang lebih muda maka disebut Pak Uda, atau Poda.
[4] Silencium mangnum (latin)…diam tanpa suara, istilah yang kerap digunakan bagi para pertapa.
(Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif belaka)
_
This story reminds me of the delicious civet Karo coffee.
The story reminds me of the delicious civet Karo coffee. I love the story and I love coffee.