Kepul asal rokok sudah tak terkira membubung ke langit malam Terminal Poris Plawad, Tangerang. Mereka menembus malam sepi sunyi bertanya pada Sang Pencipta mengapa kekasih hatiku tak kunjung tiba.
Ribuan bus telah datang dan berlalu, tapi tak satu wajah pun singgah dalam tatapanku. Setiap kali bus berhenti, aku merindukan wajah hitam manis dan senyum tipis rambut sebatas bahu, pemilik nama Anastasia Barus. Setahun yang lalu, persis pada tanggal 11 Desember, aku melepas dia di terminal ini menuju Yogyakarta untuk melanjutkan studi S2 Tekonologi Panggan di Universitas Gajah Mada. Rencana menikah kami tunda agar karirnya di Departemen Perdangangan bisa lebih baik. Setahun yang lalu, kugemgam jarinya, kutatap matanya, kutahan air mata sembari berucap tanpa bersuara, ‘i love you’ sebelum ia memasuki bus sore Pandawa 87 jurusan Yogyakarta.
Hanya saja, musik abang pengamen di luar bus tak sesuai dengan isi hatiku. Dengan guitar tua dan suara sedikit fals, abang pengamin melantunkan ‘Gerimis Mengundang’ karya Slam. Aku tahu pasti, Anastasia bukan sosok wanita seperti cerita lagu tersebut, sebaliknya ia adalah wanita yang setia sekalipun sudah tak terkira pemuda lain yang datang ingin merebutnya. I’m a lucky guy, bisa mendapatkan cintanya. ..
Setahun, lagu yang sama kembali berdendang dengan volumen rendah dari loudspeaker warung terminal tempatku menunggu kekasih hati tiba kembali untuk liburan Natal dan Tahun Baru. Ribuan, ratusan bahkan jutaan WA, voice call, bahkan video call yang sudah kami lewatkan, tetapi pertemuan fisik kali ini akan mengalahkan semua itu. Rinduku seperti kuku jemari, yang terus tumbuh sekalipun dipotong.
Kuracik khusus kopi jamu untuk menyambut bidadariku. Diperkirakan dia akan tiba subh pukul 02.30 sehingga kami akan mengabiskan waktu bercerita dan bercanda hingga pukul 05.00 sembari menunggu mentari pagi sebelum ia aku antar ke rumah orangtuanya di Banjar Wijaya. Begitulah rencana yang sudah kami bahas persis ketika bus Pandawa 87 meninggalkan Terminal Lempuyangan, Yogyakarta.
Setiap jam, sejak keberangkatan dari Lempuyangan, aku menerima kiriman notifikasi sharelock sehingga aku persis tahu dimana dia berada. Malam itu kami tidak tidur. Anastasia tidak pernah bisa tidur di dalam bus, ia akan menghabiskan waktunya berselancar ria pada smartphone-nya. Sementara aku, efek kopi jamu dan rasa rindu membuatkan awas sepanjang malam. Bahkan sejak pukul 22.00 aku telah duduk di warung terminal untuk merasakan rindu yang menggunung selama satu tahun penuh.
Anastasia sengaja memilih pulang pada tanggal 11 Desember untuk merayakan hari ulangtahunku yang ke 27. Ia memang tidak mengatakan hal itu, tetapi aku telah mengenalnya selama tujuh tahun sejak kami sama-sama kuliah di Universitas Atmajaya. Ia dalah wanita yang penuh kejutan tetapi tidak sulit untuk ditebak. Aku tahu, tetapi pura-pura tidak tahu bahwa ia akan mengucapkn selamat ulang tahun sebagai kata pertama saat ia turun dari bus Pansawa 87.
Tapi kata itu tidak kunjung tiba. Ia pergi tanpa kata, sementara aku menanggung luka di dada.
Sejak pukul 24.00, tak ada lagi sharelock yang muncul di smartphoneku. Aku kira Anastasia akan membuat surprise kecil dengan tidak memberikan posisi aktualnya. Tetapi hingga pukul 03.30 bus Pandawa 87 jurusan Yogyakarta-Tangerang dengan keberangkatan pukul 14.00 wib, tidak pernah muncul di Terminal Poris Plawad.
Lagu Gerimis Mengundang diputar berulang kali membuat teliganku kehilangan pendengaran suara lainnya. Mataku berulang kali membuka hp tapi tak kunjung muncul juga notifikasi lokasi. Anastasia telah pergi tanpa kata, sementara aku menunggu di Terminal Poris Plawad, Tangerang dengan duka terdalam. Hari ulangtahunku akan menguap tanpa sapa dan tawa dari gadis si hitam manis, calon ibu anak-anakku.
Tanpa terasa mataku berubah menjadi sumber air bening mengalir jatuh di pipi, ke baju, ke kaki lalu ke bumi. Air mata itu menyatu dengan hujan yang tiba-tiba turun deras membasahi bumi Tangerang. TAk terkira bulir hujan yang menghantam bumi tanpa reda, pun demikian air mataku yang kini berubah menjadi lautan air setinggi mata kaki di terminal Poris Plawad. Semua penumpang berlari saat turun dari bus, tetapi aku telah kehilangan asa menanti si buah cinta. Anastasia telah pergi selamanya tanpa kata pada hari ulangtahunku yang ke 27.
Kopi jamu yang kuracik kutumpahkan ke luapana air hujan yang telah menyentuh mata kakiku. Kubiarkan aroma kopi jamu menutup hidungku. Dua gelas yang telah kusiapkan, kini tetap kosong seperti hatiku hampa tanpa citra rasa. Semua telah menguap seperti asap rokok dan aroma kopi. Semua telah hampa, hanya air hujan yang jatuh ke bumi yang memiliki makna bagi tanah dan pepohonan. Sementara hidupku kehilangan cinta dan arti kehidupan.
Dari salah satu penumpang yang berlari menuju warung menghidarkan darasnya hujan, ku dengar bahwa ia melihat bus terbakar tinggal kerangka di jalan tol menuju Jakarta. Ia tidak menyebutkan nama busnya, tetapi mata batinku telah mengambil kesimpulan bahwa Anastasi pergi ke Bapa dalam kecelakan hebat tersebut.
Air mataku berlomba menyentuh bumi. Sisa kopi jamu yang aku simpan di botol corkcicle telah kutuangkan ke bumi. Air mataku dan air kopiku bersama berlari melewati tol dalam kota Jakarta, Bekasi, Cikarang dan seturusnya untuk memberikan ucapan selamat jalan bagi kekasih hati yang pergi tanpa kata.
Kepada langit hitam aku mengadukan pedih luka hatiku. Kepada pemilik air hujan yang turun menyiksa bumi aku meminta agar membiarkan diriku pergi bersama air mata dan kopi jamu menemui kekasih hatiku.
Permintaanku dikabulkan oleh penguasa alam jagat raya. Perlahan tubuhku berubah menjadi air mata dengan aroma kopi menyatu dengan genangan air di Terminal Poris Plawad. Perlahan aku hilang lenyap tanpa bekas. Di warung itu hanya tinggal aroma tipis kopi jamu, dua gelas kosong dan tumbler berwarna hitam.
Tanggal 11 Desember, pukul 03.00 aku telah menyatu kembali dengan kekasih hatiku dalam lautan air mata dan aroma kopi diiringi lagu Gerimis Mengundang.
Advent Tambun 12/12/2024