Suatu sore para hari Sabtu, 21 September 1955. Jorge Mario, yang saat itu berusia 19 tahun, telah berjanji dengan beberapa temannya untuk berkumpul sore di sebuah taman di kota Buenos Aires untuk merayakan hari musim semi. María, gadis tetangga dari kelurahaan Flores, gadis yang dia sukai, juga akan turut hadir dalam pertemuan tersebut. Sangat mungkin bahwa malam itu akan lahir benih-benih bunga romantisme antara keduanya.
Jorge Mario telah menyelesaikan sekolah menengahnya di Colegio Wilfrid Barón de los Santos Ángeles, di mana dia juga mulai bermain sepak bola sebagai bek tengah, mengikuti jejak ayahnya yang adalah pendukung tim sepakbola San Lorenzo. Pada tahun 20-an, Mario, ayahnya, menjadi teman seorang pastor SVD dari Buenos Aires yang turut dalam pendirian tim sepak bola San Lorenzo. Mario menjadi pendukung klub dan memastikan bahwa kecintaan tersebut diwariskan kepada kelima anaknya dengan istrinya Regina, salah satunya adalah Jorge Mario, yang lahir pada 17 Desember 1936, sebagai anak sulung. Meskipun mencintai sepak bola, Jorge Mario muda tidak pernah menganggapnya sebagai tumpuan untuk masa depan. Pilihan itu tepat, ketika ia lulus sebagai teknisi kimia Jorge Mario bekerja di laboratorium Hickethier-Bachmann.
Sore itu, Jorge Mario, bek tengah tim sepakbola, teknisi kimia dan telah bekerja, akan bertemu dengan dengan teman-temannya. Yang tidak kalah menariknya, Jorge Mario akan bertemu dengan Maria.
Tetapi, sebelum merasakan kemerihan jiwa muda bersama teman-teman, dan mungkin saja benih-benih bunga romantis, Jorge Mario memutuskan singgah sejenak ke gereja. Waktu itu sore menjelang malam, pukul 19.00.
Tentu bukan hal yang aneh bila ia singgah ke gereja, karena ayah dan ibunya adalah keturunan migran Italia yang menghadiri misa setiap hari Minggu. Bagi mereka agama Katolik bukanlah sekumpulan gagasan tentang dunia, melainkan cara mereka untuk berada di dunia. Jadi, tidaklah aneh jika suatu hari ibunya keluar rumah untuk mencari gereja guna berdoa rosario atau mengaku, persis seperti yang dia putuskan untuk dilakukan pada sore itu sebelum pergi berpesta.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya 58 tahun kemudian, pada 2013, ketika dia menjadi Paus dari Amerika Latin pertama dalam sejarah Gereja Katolik, penerus Benediktus XVI dan yang pertama mengambil nama Santo Fransiskus, dia akan mengingat kembali momen sore itu “”hari itu saya bertemu di ruang pengakuan dengan seorang pastor yang tidak saya kenal, yang belum pernah saya lihat sebelumnya di gereja itu, yang adalah gereja tempat saya selalu menghadiri misa. Hari itu, Tuhan berbicara kepada saya dan entah bagaimana mengatakan bahwa saya harus mengikuti jalan-Nya, bahwa saya harus menjadi seorang imam.”
Jorge Mario tidak pergi ke pesta. María kemungkinan besar menunggu awal kisah cinta yang dia juga inginkan. Senin berikutnya dia kembali bekerja di laboratorium melakukan analisis kimia untuk mengontrol kebersihan produk makanan.
Jorge Mario bercerita kepada orang tuanya tentang keinginannya, tetapi ayahnya Mario dan ibunya Regina tidak memberikan dukungan. Mereka adalah Katolik, tetapi mereka tidak mengharapkan seorang imam dalam keluarga mereka. Tetapi neneknya Rosa, ibu dari ayahnya, sebaliknya, mengatakan bahwa jika Tuhan memanggilnya, dia tidak bisa menolak. Dua tahun kemudian, pada usia 21 tahun, Jorge Mario Bergoglio mendaftar di Seminari Diosesan Villa Devoto.
Cara-cara Tuhan tidak dapat dipahami: kepada beberapa orang, Dia berbicara dengan lidah api atau semak-semak yang terbakar di padang pasir dan kepada yang lain dengan suara guntur. Dengan anak muda Bergoglio, hanya sebuah hembusan yang membutuhkan beberapa menit pada hari Sabtu yang biasa di sebuah gereja kecil di kelurahaannya. (diterjemahkan dari https://www.elpais.com.co/ dengan judul La historia secreta de la novia que el Papa Francisco cambió por la Iglesia)