JOKOWI, ANGELA MERKEL DAN DR. CONNIE

Baru saja DW, kantor berita Jerman merelease petikan pernyataan Angela Merkel yang mengutuk keras Invasi Rusia ke Ukraina. Pasti sangat banyak orang yang bertanya, mengapa baru sekarang tokoh wanita Eropa ini bersuara? Tetapi pada saat yang bersamaan pasti banyak pihak yang telah menunggu-nunggu agar wanita perkasa itu keluar dari peraduannya. Wanita yang selalu muncul dengan baju dengan potongan yang sama tetapi warna yang berbeda. Suatu kali, wartawan bertanya soal bajunya dan dengan sederhana ia menjawab ‘saya bukan model’. Usai meninggalkan tugas berat negara ia kembali menjadi ibu dan istri yang baik, bersama suami ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah tangga. Kekuasaan, kemewahan dan pamer diri yang adalah godaan terbesar kaum hawa telah ia tinggalkan jauh sebelum menduduki jebatan tertinggi di pemerintahan Jerman. Ia tidak mengatakan apapun kepada pemimpin dunia lainnya, bahwa role model menjadi seorang pemimpi adalah Merkel style, lepas bebas dari godaan duniawi dan mengabdi sepenuhnya kepada rakyat (baca: kemanusiaan).

Di Indonesia, juga ada sosok wanita yang berani dan berapi-api DR. Connie Rahakundini Bakrie (dengan sengaja saya menyebutkan gelar akademik di depannya). Beliau tiba-tiba tampil sebagai pengambat perang dan kini berkiblat pada aliran juru damai perang. Saya kira sah-sah saja setiap orang bernafsu menjadi orang penting dalam sebuah kejaidan teramat penting dalam sejarah kemanusiaan. Semua orang ingin namanya dicatat oleh sejarah kemanusiaan.

Saya harap DR. Connie Rahakundini Bakrie telah mendegar peryataan Merkel yang tentu saja dialihbahasakan ke berbagai bahasa. DW sendiri memiliki versi Indonesia. Bahkan bila dalam bahasa aslinya sekalipu, bahasa Jerman, tentu tidak ada kesulitan untuk memahaminya. Jika ada kemauan pasti ada jalan.

Mengikuti sepak terjang DR. Connie Rahakundini Bakrie dalam kancah podcast tentang perang, beliau cocok didaulat di mana-mana untuk memberikan analisis, prediksi dan sejenisnya tentang invasi Rusia ke Ukraina. Bahkan belakangan sempat meminta dengan tegas dalam podcast bersama Helmy Yahya, sosok serba bisa dan ternyata juga penulis buku sejarah ENRIQUE Maluku (buku yang katanya adlaah buku sejarah dan sudah dipresentasikan dihadapan profesor-profesor di Universitas Patimura), agar Eropa menghentikan pasokan senjata ke Ukraina. Pernyataan ini sontok mendapat kritikan tajam dan pedas bahkan dari sesama bangsa Indonesia yang merasakan langsung ancaman invasi Ukraina tersebut. Sebagian dari mereka adalah saksi hidup kebutralan perang. Dalam alam demokrasi ini pendapat dan berpendapat dianggap sebagai hak azasi manusia. Dengan demikian tidak akan ada yang mendampikkan apapun yang disampaikan oleh DR. Connie Rahakundini Bakrie dalam cermin demokrasi modern.

Leadership

Kepemimpinan itu tidak memiliki gender. Hari ini kita telah menyaksikan bahwa di negara-negara yang memiliki alam demokrasi yang sehat, tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin, karena leadership tidak mengenal laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin leadership adalah keinginan, kemauan dan kegigihannya memperjuangkan kemasyalatan orang banyak. Semakin besar keberaniannya untuk memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat banyak semakin jelas jenis kelamin kepemimpinannya. Sebaliknya semakin jauh dirinya dari simpati terhadap penderitaan rakyat banyak (dalam hal ini korban perang) sejatihnya semakin tidak memiliki gender leadership. Sosok seperti ini hanya cocok ditempatkan sebagai pengamat kumatan, jauh dari kata pemimpin.

Jokowi dari awal telah menegaskan bahwa ia mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Tetapi sikap tegas pemimpin kita ditenggelamkan oleh opini-opini dengan bahasa super canggih daripada pengamat dan akademisi warga negara Indonesia yang sebagai bahkan telah memiliki gelar doctor. Suara kemanusiaan sang pemimpin hanyut lenyap diantara gemuruhnya dukungan salah kaprah terhadap sebuah invasi. Bahkan tidak sedikit diplomat lupa akan jejak sejarah bagaiamana Indonesia menerapkan politik luar negri bebas aktif saat Indonesia opposed the U.S.-led invasion of Iraq (www.washingtonpost.com 9/12/2003). Jika ingin mendalami dan mengetahui lebih jauh sikap politik Indonesia pada saat itu, toh pelaku sejarahnya masih hidup. Sayangnya media kita lebih sibuk mencari viewers daripada menggali kebenaran. Tidak sedikit tokoh media yang lebih tertarik menjawab kebutuhan dewan pendengar daripada mencari dengan tegas dan jelas makna dibalik simbol. Bahkan di antara mereka malah menumpukkan pundi-pundinya dengan memberiktan sesuatu yang pasti ditunggu oleh objek beritanya. Pada titik ini media telah berubah menjadi industri murni, jauh dari kata pencerahan publik. Peran media sebagai sistem kontrol telah digantikan sebagai like, clikc and share (monetysing, istilah yang kerap digunakan oleh para youtubers dan tik tokers).

Media telah menenggelamkan suara keras dan tegas president Indonesia. Bahkan ketika Jokowi menyuarakan agar perang segera dihentikan dan beliau mencoba menjadi juru damai antara dua kuda hitam yang sedang beradu, media tetap acuh tak acuh. Media telah menjadi industri. Mungkin mengoreng berita perang akan menambah jumlah penonton youtubenya tanpa menghitung jumlah korban yang sudah berjatuhan.

Perang belum berakhir, itu artinya pesan Joko Widodo agar perang segera dihentikan masih bergaung. Pesan Angela Merkel akan mengalami eco berita di dunia kecuali mungkin di Indonesia karena sifat dan sikap media kita yang telah banyak berubah dari pencerahan menjadi industri berita.

Sebagai penutup saya ingin menyampaikan bahwa Indonesia sangat cinta damai. Borobudur dan Prambanan adalah dua simbol persahabatan dalam persiangan. Budha dan Hindu pada masanya adalah dua aliran dunia yang menentukan abad peradaban masa itu. Tetapi mereka meninggalkan kekayaan budaya dan filsafat kehidupan nusantara yang disaripatikan dalam Pancasila. Kini kita menghadapi perang. Bersikaplah seperti seorang pancasilais untuk mendamaikannya. Borobudur dan Prambanan bukti peradaban perdamaian nusantara. Viralkanlah itu agar menjadi milik dunia masa depan!

Advent Tarigan Tambun
RRI-VOI (SPANYOL)
CASA NUESTRA
SINABUNG KARO JAZZ

Check Also

La escultura megalítica Lore Lindu, prueba de una gran civilización en Sulawesi Central

Esculturas o estatuas de diversas formas parecen estar esperando la presencia humana para llegar al …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *