Petani penyewa dekat rumah mengeluh dengan hujan yang terus melanda tanah air Solo. Menurutnya, yang tentu saja sulit dibantah, selama musim hujan hasil panen akan menurun yang berakibat langsung pada penghasilan tahunannya. Perlu diingat bahwa pak tani ini bukan pemilik sawah, tetapi penyewa. Dengan hitung-hitungan sangat sederhana, ia mampu memperlihatkan betapa kecil untungnya sebagai petani. Hujan yang seharusnya jadi berkah bagi tanah, tidak sepenuhnya semikian bagi para petani padi ini.
Tetapi saya tidak ingin berbicara tentang petani dan padinya, yang ingin saya soroti adalah keluhan soal hujan. Kita tidak bisa berdebat dengan pak tani, yang bisa kita lakukan adalah memahami bahwa kejadian alam, apapun bentuknya kita nilai berdasarkan posisi kita. Bisa saja hujan yang tiap hari menguyur kota the spirit fo Java ini sangat dirindukan oleh penyewa jasa payung hujan (sampai saat ini saya belum melihatnya seperti yang ada di Jakarta), atau pedagang jagung bakar yang aromanya terasa ketika rasa dingin menyentuh badan. Atau hari-hari yang dirindukan oleh pelajar yang malas, karena ada alasan untuk melanjutkan tidur nyenyaknya.
Sekali lagi, kejadian alam kita maknai dengan cara kita masing-masing. Tetapi ketika kita bicara tentang bencana alam, posisi cara pandang kita mestinya sama dan satu. Kita mohon bantuan! Atau, kita bantu, kalau bukan kita yang terkena dampak bencana. Begitulah yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa dari sebuah universitas Surakarta yang mencari sumbangan dengan menyodorkan kotak supermi kosong ke pengendara. Sikap dan cara mereka layak terpuji karena hendak membantu korban banjir di Jogjakarta sekitarnya. Kita berharap bahwa sikap dan cara ini akan berlangsung terus-menerus karena banjir dan bencana alam lainnya akan terus mendekati umat manusia.
Saya dengan sengaja menulis umat manusia, karena banjir di sekitar Jogjakarta adalah gambaran kecil dari bencana alam yang sedang melanda tanah planet bumi. Hampir di seluruh plosok negeri, berita banjir adalah santapan pagi, siang dan malam kita. Sepertinya akan menjadi kebiasaan hidup harian kita. Selain banjir tanah longsor juga mengancam. Wonogiri dan Magetan, terputus hubungan melalui jalur alternatif karena tanah longsor. Daerah puncak di Jawa Barat mengalami penurunan aset sejak ada tanah longsor di jalur menuju puncak. Pada titik ini bencana alam akan menjadi bencana ekonomi, yang pada ujungnya alan memiskikan kita.
Bagi yang belum pernah tinggal di negara dengan zona siklon, tentu sulit membayangkan hidup dalam tiga bulan penuh doa dan harap agar tidak ada badai yang akan muncul di tengah samudra. Tapi doa dan harapan itu sudah tidak lagi berjalan. Semakin hari semakin besar siklon yang muncul di tengah lautan dan menerpa bibir daratan. Saya pernah tinggal di kariba dan merasakan arti kata temporada siclonica, musim badai yang berlangsung selama tiga bulan, September, Oktober dan November. Selama tiga bulan, Anda harus terinformasi, selama tiga bulan persiapan P3K dan makanan kering serta radio plus senter selalu berada pada zona aman.
Alam marah
Apakah layak kita katakan alam sedang marah? Saya kira pertanyaan reflektif ini bukan sebuah potongan puisi, tetapi sebuah kenyataan pahit yang sedang harus kita hadapi bersama. Kemarin, tgl 12/02, dua hari menjelang Valintine Day, kantor berita Aljazeera menurunkan video rekaman di youtube tentang badai yang menimpa Tonga, sebuah negara kerajaan dengan jumlah penduduk 100.000 sedang menghadapi badai dengan kategori 4, badai terberat sepanjang sejarah kerajaan ini. Sebuah kerjaan pulau di tengah pasifik berhadapa langsung dengan sumber-sumber badai, samudra raya. Hampir seluruh bagunan di kerajaan tersebut terkena dampaknya. Seperti terlihat dalam video tersebut, bahkan atap gedung DPR turut mencium tanah.
Ini pasti bukan kali pertama dan kali terakhir, wilayah dengan luas 748 ini akan menghadapi kemarahan alam. Sungguh tidak adil bila alam menampar bangunan yang sudah mereka dirikan dengan tangan dan keringat bercucuran! Tangisan mereka adalah awal dari tangisan kita juga, warga tropis yang jauh dari pusat kejadian. Badai tropis sudah muncul di Indonesia, dan dengan entengnya kita memberi nama badai-badai marah itu dengan nama bunga. Entahlah, apa sengaja atau tidak, atau ini cara kita menurunkan dampak buruknya. Tetapi layaknya perempuan cantik, alias kembang cantik marah, maka cinta yang tadinya indah berseri, bisa berubah menjadi lautan penyesalan.
Saya sengaja mengambil contoh sebuah daerah dibelahan dunia jarang terdengar di teligan kita atau lebih tepatnya tidak pernah. Dari titik terjauh tersebut saya mengajak Anda membuka lembaran Solo Pos halaman IV tertanggal 13 Maret 2018, sebuah judul besar terpampang Bencana Terbesar 10 Tahun Terakhir. Bencana di Wonogiri 28 November 2017 tercatat sebagai bencana terbesar di Kota Sukses sejak 10 tahun terakhir. Bencana besar sebelumnya terjadi pada 25-26 Desember 2007, kala itu lebih kurang 4.500 jiwa terdampak bencana banjir dan tanah longsor dan dua orang lainnya luka…. Selanjutnya Anda akan melihat data-data angka kongkrit tentang kerusakan dan kerugian baik material maupun inmateril.
SoloPOs bukan satu-satunya media massa yang bercerita tengtang bencana besar, bahkan koran nasional se level KOMPAS hampir setiap hari menampilkan gambar bencana alam, banjir di beberapa wilayah Indonesia yang durasinya makin lama makin panjang dan makin sering. Secara berseloroh seorang teman berkata, mungkin kita harus mempersiapkan diri agar menjadi mahluk ampibi dalam film the Shape of Water, karya sutradara Meksiko Guillermo del Toro. Celetukan ini bukan tanpa alasan, bila alam kita terus menerus dituangi air banjir, maka sebagai mahluk hidup, kita akan menyesuaikan diri dengan keadaan alam, bukan?
Kembali ke topik awal, singkat kata, alam kita sudah rusak. Dan kita harus tertunduk lesu ke bawah, ke tanah, tempat kita berpijak, bahwa ada cara berada kita yagn salah selama ini terhadap tanah dan isinya. Kita telah salah berhadapan dengan alam. Kita telah berdosa. Kata ini semakin sering terdengar DOSA EKOLOGIS. Alam punya rasa bahkan punya hukum, HUKUM ALAM. Kita telah terlalu jauh melewati batas keserakahan kita pada ibu pertiwi planet. Pembabatan hutan yang tidak pernah berhenti dengan dalih membuka perkebunan kelapa sawit, sepertinya masih terus berlangsung.
Sejak masih duduk di bangku SMA, saya tidak setuju petani berpindah pindah dikatakan sebagai biang keladi kebakaran hutan di kalimantan kala itu, pengusaha dan perusahaan besarlah dibalik kekejaman alam tersebut. Merekalah salah satu sosok yang membuat bumi ini sedang marah. Dosa berlipatganda yang sedang muncul kepermukaan, membakar hutan, menyalahkan petani perpindah-pindah dan akhirnya menebar tanaman monokultur. Dibalik semua ini, tidak sedikit yang bersembunyi dibalik ketidaktahuan tentang aturan pembayaran pajak. Dosa besar, inilah yang sedang kita hadapi begitu bicara tentang kerusakan alam.
Apapun yang kita bangun di muka bumi ini, jika alam tidak bersahabat lagi dengan kita, maka ibarat kata orang bijak, sia-sialah para tukang bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam bila air banjir menenggelamkan bangunannya. Sia-sialah sebuah pemerintahan yang bangga dengan pembangunan infrastrukturnya jika pada akhirnya lautan air akan menjadi sahabat gedung, jalan, dan stadion yang baru dibangun atau direnovasi. Ironis, bukan?
Adalah Philippus, seorang rohaniawan dan seniman serba bisa, melukiskan sebuah bukit yang hanya tinggal bongkah kayu. Lukisan di atas kertas dengan tinta China tersebut dibuat pada tahun 1982 dengan judul Hutanku Gundul. Mungkin ada baiknya ia melukis kembali sesutau yang berkaitan dengan hutan setelah 36 tahun, mungkin ia akan melukisnya dengan tetesan darah karena hutan gundul itu telah berubah menjadi lautan air. Tiga puluh tahun yang lalu, anggota green peasce ini sudah mengingatkan agar tidak sembarang menebang sebatang pohon pun dimuka bumi ini. Tetapi geneari kita malah membabat hutan hanya dengan hitungan untung rugi di atas kertas.
Tak jauh berbeda dengan hitungan untung rugi membabat hutan itulah yang kini kita lakukan, tetapi pada posisi sebaliknya hitungan rugi dari setiap kerusakan alam yagn ditimbulkan oleh banjir atau tanah longsor. Kita mesti ingat bahwa alam memiliki titik keseimbangan. Ketika kita keruk dia tanpa memperhatikan keseimbangan, maka ia akan mencari keseimbangan baru. Sayangnya kita menjadi korban dalam proses keseimbangan itu, dan kita menyebutnya sebagai bencana. Sekian lama kita telah menjajah alam dengan keserakahan kapitalisme modern kita. Dan kini alam meminta kita untuk rehat sejenak dan mengakui kesalahan-kesalahan kita pada ibu bumi dan menepuk dada akan dosa-dosa alam kita. DOSA BESAR kita pada alam, rumah kehidupan kita.
Advent Tambun
17/iii/2018
Catatan
Secara khusus tulisan ini saya persembahkan kepada Pastor Phillipus OFM.Cap